Sunday, February 26, 2012

Pay Back

Aku terbaring di sebuah gang kecil yang kotor, menatap langit yang berubah kelabu karena tertutup awan. Aku bisa mendengar suara tikus-tikus yang berebut makanan tak jauh dariku. Aku juga bisa merasakan kecoak-kecoak yang berseliweran di sekitar tubuhku. Ingin rasanya aku melompat berdiri dan berlari meninggalkan tempat ini. Namun semua itu mustahil. Aku sudah tidak punya tenaga untuk melakukannya. Aku bahkan sudah tidak sanggup untuk menggerakkan jariku.
Seluruh badanku terasa nyeri. Aku sangat yakin kalau tubuhku dipenuhi dengan luka dan goresan. Belum lagi memar-memar yang akan muncul dalam waktu dekat dan menemani luka serta goresan ini, memberikan warna memuakkan pada kulitku. Aku pasti sudah mengerang jika aku bisa, tapi aku sadar itu tidak mungkin. Jangankan untuk mengerang, aku bahkan tidak bisa meringis. Entah sejak kapan, suaraku telah meninggalkanku.
Hujan akhirnya turun, membasahi tubuhku. Ingin rasanya aku menutup mata untuk menepis air hujan. Sayangnya hal itu sangatlah mustahil. Aku yakin akan hal itu.
Aku tidak punya pilihan lain selain membiarkan air hujan mengguyur tubuhku yang sudah hancur ini. Tidak ada lagi yang bisa ku lakukan. Aku sudah hancur.
Aku bisa merasakan air mata mengalir turun dari sudut mataku dan bercampur dengan air hujan. Serbuan emosi mengguncang jiwaku pada saat aku mengingat akan apa yang terjadi. Takut, malu, dan juga marah. Aku bisa merasakan itu semua itu menyerangku kembali pada saat aku mengingat mimpi buruk yang baru saja ku alami.
-----
Beberapa jam sebelumnya…
Aku berjalan menyusuri lorong sekolah seorang diri. Masih ada waktu sekitar setengah jam sebelum bel berbunyi. Ketika menatap jam yang melingkari tanganku, aku menelengkan kepalaku saat menyadari bertapa cepatnya aku datang hari ini. Sadar kalau tidak ada gunanya berdiri diam di tempat ini, aku mengangkat bahu dan memutuskan untuk melanjutkan perjalanan ke kelasku.
Hal pertama yang ku lakukan begitu sampai di kelas adalah melempar tasku ke atas meja dan mencari-cari buku yang sedang ku baca. Aku bahkan belum selesai membaca halaman ketiga ketika aku menangkap sosok seseorang di ambang pintu kelasku. Penasaran, aku mengalihkan padangan dari buku yang ku baca dan menatap orang itu secara terang-terangan.
Aku sedikit terkejut saat menyadari kalau orang itu adalah kakak kelasku. Dengan gaya yang agak kaku, ia berjalan ke arahku dan duduk di kursi yang ada di sampingku. Awalnya kami mengobrol biasa, sampai akhirnya ia tiba-tiba bertanya, “Kamu mau gak jadi pacarku?”
Aku terdiam kehilangan kata-kata. Aku bisa merasakan wajahku yang berubah warna dengan cepat. Sudah lama aku menyukai kakak kelasku, tapi aku selalu berpikir aku bukanlah orang yang tepat untuknya. Ingin rasanya aku melompat kegirangan dan mengiyakan dirinya. Tapi aku tak sanggup. Satu-satunya hal yang bisa ku lakukan hanyalah menganggukkan kepala.
Aku tidak berani mengangkat kepalaku dan menatap wajah kakak kelasku itu. Aku takut kalau aku mengangkat wajahku, ia akan tertawa dan berkata kalau ia hanya bercanda. Tiba-tiba, aku merasakan tangan hangat yang menepuk-nepuk kepalaku. Perlahan aku mengangkat wajahku dan melihat senyuman manis kakak kelasku. Saat itulah aku memutuskan kalau ini bukan mimpi. Aku tersenyum sambil tersipu malu. Sebenarnya kami masih ingin mengobrol, tapi anak-anak di kelasku sudah mulai berdatangan. Kakak kelasku tidak punya pilihan lain selain meninggalkanku untuk saat ini. Ia melemparkan senyuman kecil dan berjalan meninggalkan kelasku.
Salah satu teman sekelasku menatap kami dan melemparkan pandangan penuh arti kepadaku. Melihat pandangannya itu, aku hanya bisa memberikan cengiran lebar. Aku yakin dia tahu maksudku.
Aku bersyukur karena aku tipe anak yang tertutup. Jika saja aku ini tipe anak yang terbuka, semua pasti akan menyadari kalau aku baru saja jadian dan akan menyorakiku. Aku sadar, cepat atau lambat mereka akan sadar akan hal tersebut. Tapi setidaknya, aku mau mereka menyadarinya nanti, bukan sekarang.
Aku punya sedikit masalah dalam hal menyembunyikan kegembiraanku hari ini. ekspresi wajahku memang tidak berubah, tapi mungkin auraku yang berubah. Beberapa orang temanku bertanya akan apa yang sebenarnya terjadi. Mendengar pertanyaan mereka, aku hanya tersenyum sambil menangkat bahu layaknya seseorang yang tidak tahu apa-apa.
Begitu waktu istirahat tiba, aku terkejut saat menyadari kalau kakak kelasku datang dan mencariku. Aku harus bebrsusah payah untuk menyenmbunyikan senyum tolol yang terukir di wajahku. Kami mengobrol dan menghabiskan jam istirahat bersama. Aku mungin terdengar sangat naïf jika aku berkata kalau ini merupakan hari terbaik dalam hidupku, tapi memang itulah yang kurasakan saat itu.
Harus ku akui, aku memang sedikit kecewa ketika tahu kalau kakak kelasku tidak bisa pulang bersamaku hari ini, tapi mau bagaimana lagi? Dia punya kesibukan sendiri, sama sepertiku.
***
Aku tengah menyusuri jalan menuju ke rumahku ketika seseorang membekapku dan menarikku ke sebuah gang kecil. Aku terbelalak dan meronta-ronta, berusaha untuk membebaskan diri. Rasa takut mencengkram diriku. Dalam kepanikan, aku menendang-nendang. Namun bukannya melemah, cengkraman itu malah mengencang.
Aku tidak menyerah. Tidak sekarang. Aku berusaha menggigit dan mencakar tangan yang mencengkramku. Orang itu sepertinya terkejut dan melepaskan cengkramannya secara refleks.
Sadar kalau itu mungkin satu-satunya kesempatanku, aku berusaha untuk berlari. Namun sebelum aku sempat melakukanya, aku merasakan hantaman keras di bagian belakang kepalaku, dan dunia ku pun berubah menjadi gelap dengan seketika.
***
Hal pertama yang kulihat ketika aku membuka mata adalah wajah kakak kelasku. Tapi tidak ada senyum menenangkan yang biasa ku lihat di wajahnya. Senyuman yang terukir di wajahnya terlihat sangat dingin. Senyuman keji yang penuh nafsu.
Sadar akan apa yang kemungkinan akan terjadi setelah ini, aku berusaha untuk menggerakkan tubuhku. Pada saat itulah aku menyadari kalau ia tidak sendiri. Ada dua orang laki-laki lagi di tempat ini. Satu orang menahan tanganku sementara yang satu lagi menahan tubuhku.
Sekeras apa pun aku meronta, aku tidak bisa membebaskan diriku dari mereka. Kakak kelasku mulai bergerak. Perlahan, ia mulai menelanjangiku. Air mata mulai terbentuk dan siap untuk mengalir turun dari mataku ketika aku menyadari kalau aku sudah tidak punya harapan lagi. Badanku bergetar karena takut. Dalam hati, aku diam-diam aku berharap kalau semua ini hanyalah mimpi buruk. Dan begitu aku terbangun, semua ini akan berakhir.
Namun itu mustahil.
Rasa nyeri langsung menyerangku begitu kakak kelasku memasukiku, memuaskan dirinya menggunakan tubuhku. Air mataku sudah tidak terbendung lagi. Aku menangis dan menjerit. Aku meronta dan menendang. Tapi semua itu tidak ada gunanya.
Mereka bergantian menggunakan tubuhku untuk memuaskan nafsu mereka. Badai emosi menghantamku, membuat tangisku makin keras. Aku takut, malu, dan juga marah. Aku terlalu takut untuk menerima kenyataan akan apa yang terjadi. Aku malu karena aku diperlakukan seperti ini. Dan aku marah… karena aku membiarkan diriku untuk mempercayai kakak kelasku.
----
Di sinilah aku berada sekarang. Terbaring tak berdaya, menunggu ajal menjemput. Dalam hati aku tertawa getir ketika mengingat bagaimana sebuah hari yang sempurna bisa beruba menjadi mimpi buruk dalam waktu singkat. Sangat miris rasanya ketika kita menyadari kalau orang yang merebut hal terpenting milik kita adalah salah satu orang terpenting kita. Jika aku masih bisa mengeluarkan suara, aku mungkin sudah tertawa histeris akan kebodohanku.
Tapi semua itu sudah tidak mungkin. Yang bisa ku lakukan sekarang hanyalah menungu ajal… atau mungkin sebuah keajaiban.
Saat aku sudah siap menutup mata untuk yang terakhir kalinya, aku menyadari ada orang yang datang dan sepertinya berusaha untuk membantuku. Namun aku sendiri tidak yakin. Karena sebelum aku bisa memastikannya, aku kehilangan kesadaran
***
Aku terbangun di sebuah ruangang dengan bau obat yang sangat menyengat, rumah sakit. Aku yakin akan hal itu. Aku mengangkat tangan kananku dan menatap pergelanagnku yang terbalut oleh perban. Ternyata semua itu bukan mimpi.
Sebelum aku sempat menganalisa hal lain, pintu kamar mengayun terbuka. Ibuku berjalan masuk dengan setelan jasnya yang licin, dengan dingin, ia menatap diriku. Ia tidak perlu mengatakan apapun. Di matanya, akulah yang salah. bahkan jika ada orang yang berteriak dio sampingnya dan meneriakkan fakta akan apa yang sebenarnya terjadi, ia tetap tidak akan peduli.
Aku hanya bisa menelan semua ini seorang diri.
----
Sudah hampir tiga bulan semenjak kejadian itu, aku sudah mengikuti segala jenis rehabilitasi, baik rehabilitasi fisik maupun mental, sekarang tiba saatnya untuk “membayar utang”.
Selama tiga bulan belakangan, aku sudah menggunakan uang yang ku miliki untuk menyewa penyelidik swasta. Aku akhirnya menemukan tempat dia biasa berkumpul dengan teman-temannya. Ya, teman-temannya yang juga harus ikut bertangung jawab akan apa yang terjadi pada saat itu.
Aku harus membalaskan dendamku. Dengan seluruh uang tabunganku yang tersisa, aku menyewa orang untuk membuat seakan-akan kedua orang temannya itu mengalami kecelakaan. Tapi jatah milik kakak kelasku akan kuberikan secara langsung.
Malam akhirnya tiba, aku berjalan menuju café yang biasa dikunjungi oleh kakak kelasku itu. Sesuai perkiraanku, dia ada di sana. Aku bisa melihatnya di salah satu meja yang berada di sudut. Ia duduk bersama seorang gadis yang sepertinya merupakan pacarnya.
Senyuman kecil terukir di wajahku. Perlahan, aku mulai melangkah menyeberangi ruangan sebelum akhirnya sampai di meja itu. Aku berdiri dan menatapnya dengan senyumku yang paling manis.
Awalnya kakak kelasku tidak menyadari kehadiranku, tapi begitu menyadarinya, ia melompat berdiri dan wajahnya berubah pucat. Senyumku makin lebar. Perlahan aku berjalan mengitari meja itu dan berdiri tepat di depannya.
Sambil tersenyum manis, aku berkata, “Aku kembalikan utangku lengkap dengan bunganya.”
Kakak kelasku yang masih pucat itu terlihat bingung. Sambil tersenyum, aku mengambil pisau berburu yang ku sarungkan di pinggangku dan langsung menebas lehernya.
Darah langsung menyembur ke arahku dan membasahi wajahku. Gadis yang tadi duduk bersama kakak kelasku jatuh terduduk dan menatapku dengan horror. Aku berbalik dan menatapnya. Mungkin dulu aku terlihat seperti itu. Aku lalu mengalihkan pandangan dan menatap orang-orang lain di ruangan itu.
Semua menatapku dengan cara yang sama. Aku tidak tahan lagi. Tawa yang sejak tadi ku tahan tidak bisa kubendung lagi. Aku tertawa terbahak-bahak bagaikan orang gila. Mereka tidak akan mengerti apa yang telah kualami.
Saat aku berhasil mengendalikan tawaku, aku menatap mereka lagi. “Semuanya akhirnya selesai,” ujarku sebelum menusuk jantungku.
Aku mendengar jeritan. Mereka akhirnya menyadari apa yang terjadi. Bodoh sekali. Tapi aku sudah tidak peduli lagi. Ajalku sudah dekat, dan kali ini, aku menyambutnya dengan senyuman penuh kemenangan.