Thursday, June 16, 2011

No Regrets

Perlahan Ei mulai membuka matanya. Hal pertama yang disadarinya adalah bau cairan pembersih lantai dan obat-obatan yang cukup tajam. Ia menolehkan kepalanya dan menatap sejumlah mesin yang entah apa gunanya berdiri di samping tabung oksigen berwarna biru tua yang disambungkan dengan selang yang membantunya bernafas. Ia mengerutkan kening ketika menyadari kalau ia ada di rumah sakit. “Apa yang terjadi?” tanyanya dalam hati.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, rasa sakit yang luar biasa menyerang kepalanya. Refleks ia langsung menggerakkan tangannya ke arah kepala. Namun tangannya sama sekali tidak bisa bergerak. Tangannya terasa kaku. Ei menatap panik tangannya yang tak kunjung memberikan respon. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi sementara tangannya juga tidak membantu. Setelah beberapa saat, rasa sakit itu menjadi tidak tertahankan. Perlahan, kesadarannya kembali menghilang dalam kegelapan.
Ei kembali terbangun. Kali ini ia terbangun dalam cahaya senja yang berwarna kemerahan. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tapi masih tidak ada respon. Tangannya terasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Setetes air mata mengalir dari sudut matanya. Ia menatap ke arah jendela yang membanjiri kamarnya dengan cahaya senja yang memilukan. Dengan tubuh yang masih belum bisa bergerak ia mulai terisak. Ia tidak perlu menjadi orang terpintar di dunia untuk menyadari kalau kemungkinan ia bisa menggunakan tangannya seperti dulu sangatlah kecil.
Ia menggigit bibir menahan tangis. Kehilangan tangannya mungkin lebih parah dari pada kehilangan nyawanya sendiri. Kemungkinan ia bisa kembali memainkan biolanya mungkin tidak ada. Suara pintu yang dibuka menyadarkannya dari lamunannya. Ia mengerjapkan mata, berusaha sebaik mungkin untuk mengusir air mata yang sudah siap untuk mengalir. Ia berbalik dan menatap ke arah pintu. Ternyata yang datang adalah sepupunya, Chandra.
Chandra yang menyadari kalau Ei sudah bangun langsung berjalan dan duduk di kursi yang ada di samping tempat tidurnya. “Keadaan kakak gimana?” tanyanya pelan.
Ei berusaha untuk menjawab, namun tenggorokannya menolak untuk bekerja sama. Satu-satunya suara yang berhasil keluar dari tenggorokannya adalah geraman pelan. Chandra yang menyadari hal itu langsung berdiri dan menekan bel untuk memanggil suster. Setelah beberapa saat, seorang suster dengan balutan seragam putihnya datang bersama dokter dan mulai memeriksa keadaan Ei. Puas karena ternyata pasiennya hanya kesulitan berbicara karena baru tersadar dari koma yang cukup lama, mereka akhirnya meninggalkan Ei dengan Chandra di sampingnya. Chandra tersenyum penuh terima kasih sebelum akhirnya menempati kursinya lagi. “Kakak… kakak ingat gak, kakak kenapa?” tanya Chandra pelan.
Ei menggelengkan kepala. Ia sama sekali tidak punya ide kenapa ia berada di rumah sakit maupun alasan kenapa tangannya terasa sangat kaku dan tidak dapat dirasakan. Chandra menatapnya sedih dan mulai bercerita. “Waktu kakak pulang dari Taman Menteng, kakak kan pulang naik taksi karena gak ada yang bisa jemput. Pas diperjalanan, taksi kakak ditabrak orang,” ujar Chandra dengan suara yang tidak lebih dari bisikan.
Kesadaran langsung menghantamnya. Ingatan akan kejadian itu langsung menerobos masuk ke dalam benaknya. Hari itu hari Minggu, tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Saat itu ia ke Taman Menteng untuk bermain biola seperti biasa. Hanya saja saat itu ia terpaksa pulang dengan taksi karena tidak ada yang bisa menjemputnya. Begitu memasuki taksi, ia langsung menghempaskan diri ke kursi belakang dan bersandar ke pintu kanan taksi. Belum lama taksi berjalan, suara klakson yang nyaring terdengar dari arah kanan. Saat itu, waktu seakan berjalan secara perlahan. Dalam waktu sepersekian detik itu, ia bisa melihat mata pengendara mobil yang terlihat panik karena tidak bisa menghentikan mobilnya. Ingin rasanya ia menjerit, namun itu semua tidak sempat. Mobil itu menghantam taksi dari sisi kanan, persis dimana Ei menyandarkan tubuhnya.
Taksi mulai terpelanting seperti bola sebelum akhirnya jatuh terbalik dan berhenti ketika menabrak tiang listrik. Ia berusaha menggerakkan badannya, namun semua itu mustahil. Ia tahu dengan pasti kalau seluruh badannya sudah remuk. Seluruh badannya terasa sakit. Tidak perlu waktu lama sampai ia kehilangan kesadaran dan berakhir di rumah sakit.
Chandra menatap sepupunya dengan pandangan cemas. Ia yakin kalau sepupunya sudah ingat apa yang sebenarnya terjadi. Ei menatap Chandra dan mulutnya mulai bergerak membentuk sebuah kata. Biola. Chandra yang menyadari hal itu menggeleng sedih, “Biola kakak gak tau dimana. Kita udah panik sama keadaan kakak, kita gak sempet mikirin biola.”
Ei menahan air matanya. Biola itu harganya memang tidak seberapa, namun kenangan yang ada di dalamya lah yang tidak terhingga. Biola itu sudah menjadi satu-satunya sahabat dan tempat berbagi semenjak orang tuanya sibuk dengan pekerjaan mereka. Sekarang, dengan hilangnya biola itu, semangat hidupnya juga seakan berkurang. Kepada siapa lagi ia akan berbagi beban? Ia tidak punya teman dan keluarganya terlalu sibuk.
Ei yang sadar kalau ia sudah tidak sanggup menahan air matanya lebih lama langsung mengalihkan pandangan ke arah jendela dan kembali terisak. Chandra yang mendengar suara isak tangis kakak sepupunya itu berdiri dan pamit untuk pulang, memutuskan kalau kakak sepupunya itu perlu privasi.
Ei terisak entah untuk berapa lama. Mentari yang tadi bersinar kemerahan sekarang telah pergi, digantikan oleh bulan yang memancarkan cahayanya dengan lembut. Matanya merah dan sembab. Badannya terasa lelah karena efek obat-obatan, kebanyakan menangis, dan juga karena tekanan akan biolanya yang hilang.
“Kenapa Tuhan melakukan ini? Apa sebenarnya salahku? Apakah Tuhan membenciku? Kenapa harus aku? Apa ini berarti Tuhan sudah membuangku? Melupakanku? Jika memang Tuhan membenciku, kenapa ia tidak mencabut nyawaku saja? Apa ia sangat membenciku sehingga ia lebih suka menyiksaku perlahan-lahan sebelum akhirnya mencabut nyawaku?” pertanyaan-pertanyaan muncul dalam pikirinnya sesaat sebelum ia jatuh tertidur karena kelelahan.
Ei terbangun keesokan harinya. Ia tidak tahu sudah jam berapa saat itu, yang pasti saat itu sudah cukup siang. Sinar matahari yang menyilaukan menerobos masuk tanpa permisi dan menyengat matanya. Ei mengangkat tangan kirinya, berusaha untuk menghalau cahaya itu. Ia tiba-tiba tersadar kalau tangannya tidak bisa bergerak. Ia menggigit bibir bawahnya karena frustrasi. Sebelum ia sempat menangisi keadaannya, suara ketukan terdengar dari arah pintu dan sesosok dokter melangkah masuk. “Bagaimana perasaanmu?” tanya dokter itu.
“Tenggorokanku sakit,” jawab Ei dengan suara parau yang sepelan bisikan.
Dokter itu memberikan senyuman kecil sebelum berkata, “Saya tidak heran. Banyak orang yang baru saja mengalami koma mengalami hal tersbut.”
“Koma?”
“Iya. Setelah operasi, anda sempat koma selama hampir seminggu. Dan selama itu, tidak ada air yang melewatinya. Tenggorokan yang kering bisa dibilang penyebabnya,” ujar dokter itu sambil melakukan pengecekan.
Dokter itu sudah siap untuk keluar, Ei akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Apa aku masih bisa main biola?”
Dokter itu menghela nafas dan menatap Ei dengan pandangan sedih. “Mungkin. Tapi kemungkinan itu sangat kecil. Ototmu robek di kecelakaan itu. Anda mungkin masih bisa menggunakannya untuk hal-hal sederhana seperti mengancingkan baju dan yang lainnya, namun untuk melakukan pekerjaan berat dan juga pekerjaan yang membutuhkan kelincahan jari seperti bermain musik kemungkinan itu nyaris tidak ada.”
Ei tersentak mendengar hal itu. Walaupun ia tahu kalau kemungkinan ia bisa bermain biola lagi itu nyaris tidak ada, fakta itu semakin menyakitkan ketika seorang dokter mengatakannya dengan terang-terangan di hadapannya. Hatinya serasa hancur. Ia tidak punya apa-apa selain biola. Sekarang setelah hal itu bisa dibilang hanyalah impian belaka, ia sadar kalau ia sendirian.
“Apa tidak ada yang bisa kau lakukan?” tanya Ei dengan nada bergetar, “Aku tidak punya apa-apa selain biola. Sama siapa lagi aku harus berbagi?”
Dokter itu menatapnya sedih, “Anda bisa mencoba menjalani terapi tambahan. Namun kalau pun terapi itu berjalan lancar dan anda bisa menggunakan tangan anda seperti dulu lagi, anda mungkin harus belajar memainkan biola lagi dari awal. Tapi harus saya ingatkan, terapi tambahan ini kemungkinan berhasilnya untuk anda tidak besar, dan juga terapi ini jauh lebih tidak menyenangkan dari terapi wajib yang harus anda jalani.”
Ei terdiam mendengar kata-kata dokter itu. Apakah ini benar-benar yang diinginkannya? Rasa sakit tambahan dengan kemungkinan kecil tidak terdengar menarik. Dan kembali belajar memainkan biola dari awal bukanlah hal yang mudah. Ei tenggelam dalam pikirannya. Dokter yang tahu kalau pilihan itu tidak mudah untuknya memutuskan kalau sudah waktunya ia keluar dan memeriksa pasien lainnya.
Seharian itu, Ei hanya terdiam dan tenggelam dalam pikirannya. Mulutnya mengunyah makanan yang disodorkan oleh suster dengan setengah hati. Kata-kata dokter itu terngiang dalam kepalanya. Ia tidak yakin kalau ia sanggup melewati semua itu. Tidak banyak yang bisa dilakukannya dengan keadaannya yang seperti ini. Ei akhirnya menyerah kepada kebosanan yang menyerangnya dan jatuh tertidur.
Hari berikutnya tidak berbeda jauh dengan hari kemarin. Satu-satunya hal yang membedakannya adalah hari ini ia akan memulai terapinya. Seorang suster membawanya datang dengan sebuah kursi roda dan membawanya ke ruang terapi. Terapi yang dilakukannya ternyata jauh berbeda dari apa yang ada di kepalanya. Satu-satunya yang harus ia lakukan hanyalah berbaring sementara seorang ahli terapi memijit tangan dan kakinya. Ide itu terdengar menggiurkan, namun Ei segera menyesali hal itu.
Awalnya ide akan dipijit itu terdengar menyenangkan, namun begitu ia mulai dipijit, ia mulai menjerit serta sejuta kata makian kelauar dari mulutnya. Ototnya seakan ditarik sampai putus. Air mata tergenang di matanya dan mengalir seiring dengan berjalannya terapi.
Terapi itu sebenarnya hanya berlangsung selama satu jam, namun bagi Ei terapi itu seperti berlangsung selama seabad. Suster yang tadi mengantarnya kembali menjemputnya begitu terapi selesai. Sementara kursi roda yang didudukinya didorong oleh suster, ia kembali memikirkan kata-kata dokternya. Pikirannya bertengkar hebat dalam kepalanya. Sebagian dari dirinya ingin untuk mencoba terapi itu walaupun tahu kalau kemungkinannya sangat kecil. Sementara sebagian lainnya tidak setuju karena menganggap kalau terapi itu tidak sepadan dengan kemungkinannya.
Rutinitas monoton itu berjalan terus menerus selama hampir sebulan, sampai tiba pada saat dimana dokter merasa kalau ia sudah sanggup menggunakan kakinya. Suster memang masih menjemput dengan kursi roda ketika sudah waktunya ia menjalani terapi, namun selain itu, dokter menyarankannya untuk mulai melatih kakinya lagi.
Semua terasa membosankan di tempat ini. Ei memang sudah bisa menggerakkan tangannya, namun baru untuk hal-hal sederhana seperti membuka pintu dan mengambil air. Dan itupun dilakukannya dengan tangan yang bergetar.
Suatu hari, ia memutuskan untuk berjalan-jalan. Saat sedang berjalan, ia berhenti dan menatap taman yang terletak tiga lantai dibawahnya. Godaan untuk mengakhiri hidupnya terasa sangat kuat, namun sebelum ia sempat melakukannya, seorang anak perempuan datang dan berkata, “Jangan bunuh diri dari sini. Kalau loncat dari sini kamu gak bakalan mati. Paling cuman patah tulang.”
Ei menatapnya dengan sebelah alis terangkat. “Apa maksudmu?” tanyanya pura-pura tidak mengerti.
Gadis itu menatapnya dengan cengiran di wajahnya, “Gak usah bohong, deh! Aku udah pernah nyoba bunuh diri, jadi aku tau gimana pandangan orang yang pengen bunuh diri!”
Ei terdiam. Ia tidak percaya kalau gadis di depannya ini pernah menginginkan hal yang sama dengan apa yang diinginkannya saat ini. Gadis itu seakan bisa membaca pikiran Ei. Sambil menghela nafas, ia melepaskan wrist band yang melingkar di tangan kirinya, menutupi bekas luka sayatan yang terlihat dalam.
Gadis itu mengangkat tangannya dan memperlihatkan bekas luka itu kepada Ei. “Aku sudah pernah menyayat pergelanganku. Waktu itu aku sudah hampir mati, tapi sayangnya Tuhan belom mau nerima aku,” ujarnya sambil terkekeh pelan.
“Kenapa kamu pengen mati?” tanya Ei penasaran.
Gadis itu mengangkat bahu, “Gak tau. Aku pengen ngumpul sama keluarga aja! Ortu sibuk kerja, abang sibuk kuliah sambil pacaran sambil ngurus bisnis. Semua pada sibuk, udah gak punya waktu buat ngumpul.”
Ei terdiam berusaha mencerna kata-kata gadis itu, mungkin keadaannya hampir sama dengan keadaan gadis itu. “Kamu sendiri kenapa pengen mati?” tanya gadis itu santai.
Ei terlonjak mendengar pertanyaan gadis itu lalu manjawab, “Aku tidak punya siapa pun untuk diajak bicara. Satu-satunya yang meringankan bebanku hanyalah biolaku!”
Gadis itu menatapnya tajam, “Itu berarti kau mencintai biola kan?”
Ei mengangguk. Tangannya terkepal berusaha menahan amarah. Ia tidak mengerti bagaimana seseorang yang baru ditemuinya bisa selancang ini. “Jadi kau akan menyerah begitu saja?” tanya gadis itu.
“Hah?”
“Kau bilang kau mencintai biola, tapi kau menyerah begitu saja ketika dokter mengatakan kalau kemungkinanmu bisa bermain biola lagi itu kecil. Untuk seseorang yang mengaku mencintai biola, kau itu menyedihkan.” Ei terdiam mendengar pernyataan itu. Ia tidak pernah menyangka kalau akan ditanya seperti itu oleh orang yang baru ditemuinya. Ia menimbang-nimbang sebentar sebelum akhirnya memutuskan kalau tidak ada salahnya ia bercerita tentang apa yang terjadi. “Aku kecelakaan. Ototku robek dikecelakaan itu, dan kayaknya aku gak akan bisa main biola lagi,” ujar Ei pelan.
“Jadi kamu pengen mati karena ada kemungkinan kamu gak bisa maen biola lagi? Cuman karena itu?” tanya gadis itu dengan nada menyindir.
“KAU TIDAK MENGERTI!” bentak Ei, “Aku tidak punya apa-apa selain biola! Keluargaku terlalu sibuk dan aku tidak punya siapa pun untuk diajak bicara. Satu-satunya yang meringankan bebanku hanyalah biolaku!”
Gadis itu menatapnya tajam, “Itu berarti kau mencintai biola kan?”
Ei mengangguk. Tangannya terkepal berusaha menahan amarah. Ia tidak mengerti bagaimana seseorang yang baru ditemuinya bisa selancang ini. “Jadi kau akan menyerah begitu saja?” tanya gadis itu.
“Hah?”
“Kau bilang kau mencintai biola, tapi kau menyerah begitu saja ketika dokter mengatakan kalau kemungkinanmu bisa bermain biola lagi itu kecil. Untuk seseorang yang mengaku mencintai biola, kau itu menyedihkan,” ujar gadis itu tajam, “Aku gak percaya kalau kau benar-benar mencintai biola! Kalau kau menyerah semudah ini, aku rasa cinta kamu ke biola tuh gak segede yang kamu kira.”
Ei terdiam. Apa yang dikatakan oleh gadis itu memang masuk akal. Kesunyian terjadi diantara mereka sampai akhirnya Ei bertanya, “Apa yang kau lakukan di tempat ini?”
“Abangku dirawat di sini. Asmanya kambuh karena terlalu semangat menghadapi clothing event yang diadain kemaren.”
Ei menatapnya dengan alis terangkat, “Jadi kamu disini bukan karena percobaan bunuh diri lagi?”
Gadis itu tertawa mendengar kata-kata Ei. “Enggak, aku udah nyoba sekali dan gak mati. Kayaknya pengalaman itu udah lebih dari cukup. Dan lagi kalo gak langsung mati, sakitnya tuh bener-bener sakit. Mending kalo langsung mati, tapi kalo masuk RS dulu kan sama aja bohong!” ujar gadis itu diantara tawanya.
Ei ikut tertawa. Ia harus mengakui kalau dibalik kata-katanya yang tajam, kurang ajar, dan tidak berperasaan, gadis itu memang benar. Setelah tawa mereka mereda, gadis itu mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. “Aku Bintang.”
“Ei,” jawab Ei, “Sepertinya urutannya salah.”
“Urutan?” tanya Bintang dengan dahi yang berkerut.
Ei mengangguk. “Biasanya orang-orang itu berkenalan lalu mengobrol. Setelah dekat baru mengkritik orang lain,” jawab Ei sambil terkekeh.
Bintang mendengus pelan lalu berkata, “Mau bagaimana lagi? Aku kan bukan orang kebanyakan!”
Ei terbahak mendengar kata-katanya tersebut. Kekakuan yang biasanya dirasakan oleh orang yang baru berkenalan tidak ada diantara mereka. Mungkin hal itu disebabkan oleh percakapan mereka tentang bunuh diri tadi. Mereka mengobrol sampai jam besuk habis. Tidak ingin dirinya diusir, Bintang menanyakan kamar Ei dan berjanji untuk mampir tiap kali ia menjenguk abangnya.
Ei tersenyum dan mengangguk. Bisa dibilang ia beruntung karena bisa mendapatkan teman di tempat seperti ini. Sifatnya yang pemalu sering kali menjadi hambatan dalam mendapatkan teman.
Begitu Bintang pergi, Ei kembali ke kamarnya dengan keputusan bulat. Ia akan mengambil terapi itu. Ia sudah tidak peduli kalau terapi itu menyakitkan. Ia tetap akan mengambil terapi itu walaupun ia sadar kalau kemungkinan besar terapi itu tidak ada gunanya. Ia mencintai biola dan ia akan membuktikan kepada Bintang dan yang lainnya kalau itu bukanlah bualan belaka.
Keesokan harinya, saat dokter datang untuk mengecek keadaannya, Ei mengutarakan niatnya. Dokter itu menatapnya dengan pandangan tidak percaya, “Apa anda yakin? Saya harus mengingatkan kalau terapi ini jauh dari menyenangkan dan juga kemungkinan besar usaha anda akan sia-sia.”
Ei menggelengkan kepala. “Aku sadar kalau kemungkinannya kecil, tapi bukan berarti kemungkinan itu gak ada, kan? Aku suka biola, dan biola itu bisa dibilang satu-satunya hal yang aku punya. Ngelepasin biola tanpa mencoba buatku sama aja kayak dokter ngerelain istri dokter gitu aja.”
Dokter itu tercengang mendengar kata-kata Ei. Bisa dibilang Ei adalah pasien pertamanya yang benar-benar ingin menjalankan terapi. Sadar kalau keputusannya sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat, Dokter itu mengangguk dan mulai mengatur jadwal untuk terapi tambahan.
Begitu dokter itu keluar, Bintang menyelinap masuk dengan cengiran lebar di wajah. “Keren juga kata-katamu!”
Ei menatapnya dengan pandangan bingung. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Bintang. “Aku sadar kalau kemungkinannya kecil, tapi bukan berarti kemungkinan itu gak ada, kan? Aku suka biola, dan biola itu bisa dibilang satu-satunya hal yang aku punya. Ngelepasin biola tanpa mencoba buatku sama aja kayak dokter ngerelain istri dokter gitu aja,” ujar Bintang sambil meniru gaya bicara Ei.
Semburat merah langsung muncul di wajahnya. “Jangan-jangan dari tadi kau nguping yah?” tanya Ei dengan nada bergetar karena malu.
Cengiran di wajah Bintang semakin lebar. Ia menaikkan tangan kanannya dan menganggkat jari telunjuk dan jari tengahnya, membuat huruf ‘V’ di depan wajah Ei. Wajah Ei semakin memerah melihat Bintang. Bintang hanya tertawa dan mengambil sebatang besar coklat dari kantongnya dan melemparkannya ke arah Ei. “Hadiah karena kau sudah mengucapkan kata-kata sekeren itu.”
Ei menggumamkan terima kasih dan menyimpan coklatnya di meja samping tempat tidur. Ia bercakap-cakap dengan Bintang sampai tiba saat dimana ia harus terapi. Seorang suster datang dengan kursi roda, menjemputnya untuk terapi. Bintang yang tahu kalau ia akan ditinggalkan langsung menatap suster itu dengan tatapan memelas dan meminta izin untuk ikut melihat terapi. Awalnya suster itu menolak, namun Bintang berkata kalau semua ini dilakukannya demi menyelesaikan tugas dan sejuta alasan lainnya. Entah karena kasihan atau apa, Bintang akhirnya diizinkan untuk ikut.
Sepanjang terapi. Tidak banyak yang bisa dilakukannya selain mengobrol dan menggoda Ei. Sekilas hal itu mungkin terlihat menganggu Ei, namun sebenarnya Ei bersyukur karena tidak harus menjalani terapi dengan rasa bosan yang biasa dialaminya.
Begitu selesai, Bintang meminta izin untuk membawa kembali Ei ke kamarnya. Namun bukannya Ei yang duduk di kursi roda, Bintang malah menyuruhnya mendorong kursi tersebut sementara ia duduk di sana. Ei hanya bisa menggeleng melihat kelakuan temannya yang benar-benar antik.
Saat berjalan, Ei bertanya, “Hei… apa kau nyesel kau gak mati?”
Bintang menggeleng. “Gak juga. Kalau waktu itu aku mati, aku gak bakal bisa menggodamu.”
Ei mendengus pelan mendengar jawabannya. “Kau sendiri? Apa kau nyesel karena gak jadi lompat dari tingkat tiga?”
Ei terkekeh pelan. “Kayaknya enggak deh. Kayak yang kamu bilang waktu itu, mending kalo langsung mati. Tapi kayaknya kamu bener, kalo loncat dari sana, aku kayaknya cuman bakal patah tulang. Jadi bisa dibilang kalo aku gak gitu nyesel.”
“Kalo terapi tambahannya gagal dan kamu gak bisa main biola lagi, apa kamu bakal nyesel ngambil terapi itu?” tanya Bintang tiba-tiba.
Ei terdiam sesaat sebelum berkata, “Enggak. Aku gak bakal nyesel. Walaupun aku gagal, seenggaknya aku udah berusaha. So no place for regrets.”
Bintang tersenyum kecil, “Yeah, live is way to short to be filled with something called ‘regret’. Hidup tuh terlalu pendek buat diisi sama penyesalan. Jadi lebih baik kamu ngeliat segala sesuatu yang negatif dari sisi lain.”
“Sisi positifnya aku kecelakaan apa?” tanya Ei.
“Kamu bisa ketemu aku!” ujar Bintang dengan cengiran di wajah.
Ei tertawa mendengar jawabannya. Tapi Bintang mungkin memang benar. Jika ia tidak mengalami kecelakaan, ia mungkin tidak akan pernah bertemu dengannya.

Saturday, June 4, 2011

Endless Zone

Aku terdiam menatap laut yang bertemu dengan langit dari beranda rumahku. Membuat sebuah zona biru yang membentang tanpa batas. Rumahku yang terletak di atas tebing pesisir Maluku ini bukanlah sebuah rumah yang megah, namun rumah ini adalah segalanya untukku. Tidak, aku bukannya tidak sanggup membeli sebuah rumah yang letaknya lebih dekat dengan pusat kota, tapi mungkin kenangan yang kumilikilah yang menahanku di tempat ini. Jutaan peristiwa telah terjadi di tempat ini, di mana tebing tinggi yang telah menjadi rumahku ini menjadi saksi akan apa yang pernah terjadi di tempat ini. Bahkan jauh sebelum aku lahir.
Aku juga memiliki berbagai kenangan di tempat ini. Baik yang menyenangkan maupun tidak, semua yang sudah kualami di tempat ini merupakan kenangan berharga yang tidak akan kutukar dengan seluruh harta yang ada di dunia ini. Mungkin jika ada yang bertanya tentang kenangan apa yang tidak akan pernah kulupakan, aku akan berkata kalau kenangan tersebut adalah kenangan tentang apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu.
Sepuluh tahun yang lalu, aku masih berumur lima belas tahun. Saat itu, ibu yang telah mengasuhku sejak kecil baru saja meninggal. Aku akhirnya dipertemukan dengan ayahku, sebuah sosok yang tidak pernah kulihat selama tiga tahun terakhir. Aku baru saja mengetahui kalau ayahku sudah menikah lagi, kali ini dengan seorang janda beranak dua bernama tante Citra. Tante Citra itu sebenarnya adalah seorang wanita yang lembut dan penuh kasih, namun entah mengapa, aku tidak pernah bisa menganggapnya sebagai seorang ibu. Begitu tinggal dengan ayahku, aku langsung mendapat dua orang kakak kembar yang bernama Andra dan Andri. Mereka berdua mungkin adalah kakak terbaik yang ada di dunia ini. Sekilas, keluarga baruku ini terlihat sempurna.
Ayah yang mapan, Ibu yang lembut, dua orang anak laki-laki yang luar biasa baik, dan seorang anak perempuan yang selalu tersenyum. Bisa dibilang keluargaku itu adalah contoh keluarga bahagia yang sering ada di cerita. Sayangnya, semua itu hanya tampak luar dari keluargaku. Sebaik apapun mereka kepadaku, aku tidak pernah merasa menjadi bagian dari mereka. Aku mungkin terdengar manja, tapi hal itu memang benar. Aku sama sekali tidak mengenal mereka, bagiku mereka tidak lebih dari orang asing. Tawa dan senyumku juga tidak lebih dari topeng yang kupakai demi melindungi diriku dari yang lainnya.
Suatu hari, aku memutuskan untuk ikut ayahku bekerja. Ayahku memiliki usaha pengembang biakan mutiara air laut. Di sana, ayah menjelaskan tentang bagaimana cara tiram itu bisa memproduksi mutiara. Di tengah penjelasannya, aku bertanya kepada ayahku, dari mana ia mendapatkan tiram-tiram tersebut. Sambil tersenyum lembut, ayahku membimbingku ke sebuah perahu yang berisi sekitar lima sampai tujuh orang. Ternyata ayahku membawa ke sebuah perahu yang berisi para penyelam mutiara. Begitu aku dan ayahku naik ke perahu tersebut, para penyelam mutiara itu tersenyum dan menyapa ayah. Saat mereka sibuk menyapa ayahku, pandanganku bertemu dengan pandangan seorang anak laki-laki yang tampaknya hanya beberapa tahun lebih tua dariku.
Sadar kalau pandangan kami bertemu, anak itu mengulurkan tangannya ke arahku, mengajak berkenalan. “Aku Banyu,” ujar anak itu.
Aku menjabat tangannya tanpa mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Aku tertegun menatapnya, rambut hitam yang agak berantakan karena terpaan angin, kulitnya yang berwarna agak gelap, dan bekas luka yang melintang dari dada sampai lengan atasnya. Aku sulit mempercayai pandanganku. Aku nyaris tidak percaya kalau ia hanya sedikit lebih tua dariku, namun telah bekerja seperti ini. “Namamu siapa?” tanya Banyu lembut, membuyarkan pikiranku.
“Aku Luna!” ujarku sambil tersenyum, mengenyahkan pikiranku tentang Banyu tadi. Sepanjang perjalanan menuju tempat penyelaman, aku bercakap-cakap dengan Banyu. Dalam waktu singkat, aku tahu kalau Banyu mempunyai seorang kakak laki-laki bernama Tirta yang meninggal saat ia berumur tujuh tahun. Sesuai dugaanku, Banyu memang hanya dua tahun lebih tua dari diriku. Dari percakapan singkat itu, aku menyadari kalau Banyu adalah seseorang yang punya pengetahuan yang luas. Aku yang penasaran kenapa Banyu tidak bersekolah akhirnya menanyakan alasannya. Sambil tersenyum sedih, Banyu memberitahuku kalau ayahnya adalah seorang pemabuk yang suka memukuli ibunya. Semua itu berlangsung secara terus menerus sampai akhirnya ayahnya itu dibawa oleh polisi, meninggalkan Banyu dan ibunya. Banyu sebenarnya masih ingin sekolah, namun menurutnya pilihan itu bukanlah pilihan yang bijak. Bukan hanya masalah biaya, ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan membuat Banyu memutuskan untuk bekerja dan menopang kehidupannya dan ibunya.
Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh tentang dirinya, ayahku memberitahuku kalau sudah saatnya mereka menyelam. Ayahku lalu menyerahkan jam tangannya kepadaku. Awalnya aku menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya, namun ayahku mengunci mulutnya dan menyuruhku mengukur berapa lama mereka di bawah sana. Sambil mengangkat bahu, aku memutuskan untuk mengikuti kata-katanya. Mereka pun mulai menyelam, meninggalkanku, ayahku, dan Pak Abas yang bertugas untuk menjaga perahu. Detik demi detik pun berlalu. Detik-detik itu pun perlahan berubah menjadi menit. Aku yang khawatir mulai menatap ayahku, namun beliau malah berbincang-bincang dengan Pak Abas.
Satu menit pun akhirnya berlalu. Kekhawatiranku akan keselamatan mereka sudah tidak bisa dibendung lagi. Tanpa memikirkan rasa takutku, aku pun melompat dari perahu, berusaha menyelamatkan mereka. Asinnya air laut langsung membuat mataku perih, namun aku tetap membuka mataku. Aku tidak ingin melihat ada yang terluka. Tidak lagi. Betapa terkejutnya diriku saat aku menyadari kalau Banyu dan yang lainnya masih berenang dengan santai.
Banyu yang tadinya sedang berenang mengambil tiram mutiara langsung terbelalak ketika melihatku di dalam air, namun karena tahu kalau kondisiku baik-baik saja, ia hanya tersenyum dan bersalto di dalam air. Ingin rasanya kutertawa, namun aku tahu kalau tertawa sekarang itu sama saja dengan bunuh diri. Begitu kekhawatiran dan keterkejutanku berhasil kukuasai, kepanikan mengambil alih diriku. Aku baru menyadari kalau aku sedang berada di dalam laut. Memori akan laut yang telah membawa ibuku untuk selamanya langsung membuatku panik. Aku langsung berenang kepermukaan, berusaha membebaskan diri dari laut. Begitu aku sampai di permukaan, hal pertama yang kulihat adalah wajah ayahku yang sedang tersenyum. Beliau mengulurkan tangan, membantuku untuk naik ke atas perahu.
“Gimana? Mereka hebat, kan?” tanya ayahku.
Aku pura-pura tersenyum lalu menganggukkan kepala. Sebelum aku sempat bercerita tentang ketakutanku, suara cipratan mulai terdengar dari berbagai arah saat para penyelam berenang menembus air, mencapai permukaan. Mereka pun mulai menaikkan tiram-tiram mutiara yang mereka dapatkan sebelum mereka naik ke atas perahu. Saat Banyu naik, pandangan kami kembali bertemu. Cengiran kecil langsung terukir di wajahnya. Aku tidak perlu menjadi orang terpintar di dunia untuk tahu arti cengiran itu. Aku membalas cengirannya itu dengan cengiranku sendiri sambil memberikan jempol untuk aksinya tadi.
Aku tidak yakin apa ayahku benar-benar menyadarinya atau tidak, namun begitu kami sampai ke karamba miliknya, ayah bertanya apakah aku ingin ikut menyelam bersama mereka mingu depan. Aku terdiam sesaat. Aku ragu dengan pilihan yang akan kuambil. Laut sudah mengambil ibuku, tepat di depan mataku. Aku tidak yakin apa aku benar-benar ingin menyelam bersama mereka atau tidak. Ayahku yang sepertinya menyadari perubahan ekspresi di wajahku menepuk punggungku sebelum berkata, “Luna gak harus mutusin sekarang kok. Santai aja!”
Aku mengangguk pelan tanpa semangat. Aku tahu kalau ayahku menyadari semangatku yang berkurang secara drastis. Ayahku lalu memanggil Banyu dan menyuruhnya menemaniku berkeliling. Kami berjalan melewati jembatan kecil yang menghubungkan karamba ayah dengan pantai sambil berbagi cerita lagi. Kami berjalan sampai akhirnya kami tiba di tebing tinggi, tempat rumahku sekarang berdiri. Saat itu Banyu menanyakan sebuah pertanyaan yang membuatku terlonjak, “Kenapa sih kamu menyiksa dirimu sendiri, Luna?”
Aku mengerutkan dahi, seakan tidak mengerti pertanyaannya tadi. Melihat ekspresiku tadi, Banyu hanya bisa menghela nafas dan menghempaskan diri ke hamparan rumput dibawah kaki kami. “Aku yakin kamu tau kalau nangis itu gak bakal nyelesaiin masalah, tapi kamu tahu gak, kalau nangis itu bisa meringankan beban kita?” ujar Banyu sambil menatap ke arah horizon.
Aku terdiam seraya mengikuti arah tatapannya. Tanpa kusadari, air mata mulai menetes dari sudut mataku. Aku pun jatuh terduduk dan menangis sambil menatap horizon. Banyu memang benar, selama ini aku memang sudah menyiksa diriku. Aku tidak bisa berbohong dihadapannya. Tidak ada gunanya aku bersembunyi di balik topengku. Banyu bisa melihat semuanya. Banyu bisa mengetahui siapa aku sebenarnya, bahkan dari saat pertama kami bertemu.
Aku masih sibuk menangis ketika tangan Banyu mulai mengelus-ngelus kepalaku. “Ceritakanlah masalahmu jika kau mau, namun menangislah jika kau tak bisa,” bisik Banyu di telingaku.
Raungan tangisku sudah tidak dapat dibendung. Dalam dekapannya, aku menangis seperti saat aku menangis dalam pelukan ibuku. Di antara tangisan dan cegukanku, aku mulai menceritakan segalanya kepada Banyu. Bagaimana laut mengambil ibuku untuk selamanya, bagaimana kesedihanku karena dikhianati oleh laut, bagaimana ketakutanku ketika harus berhadapan dengan laut lagi, dan juga bagaimana ketakutanku memiliki keluarga baru. Semua itu tumpah begitu saja tanpa sempat kupikirkan. Aku hanya bisa menangis dan bercerita, sementara Banyu mendekapku sambil menepuk-nepuk punggungku.
Setelah aku berhasil menenangkan diriku, aku mulai membebaskan diri dari pelukan Banyu. Banyu lalu menatapku, “Benarkan? Menangis itu lumayan menyenangkan, kan?” tanyanya sambil tersenyum jahil.
Aku tersenyum kecil sambil memukul tangannya dengan bercanda. Kami berdua akhirnya jatuh sambil tertawa-tawa. Entah sudah berapa lama aku tidak tertawa seperti ini. Aku tidak yakin sudah berapa lama aku tidak menjadi diriku sendiri. Setelah beberapa saat Banyu berdiri lalu mengulurkan tangan ke arahku. Tanpa ragu, aku langsung meraih tangannya dan membiarkan Banyu menarikku berdiri. Aku mungkin bukanlah orang yang paling pintar di dunia ini, namun aku tahu kalau sejak saat aku menerima uluran tangan Banyu, Banyu sudah menjadi salah seorang yang penting untukku.
Kami berjalan berdua sambil bercanda. Tubuhku rasanya sangat ringan karena sudah membagi penderitaan yang selama ini kutanggung sendiri. Saat kami hampir sampai, aku berbalik dan bertanya kepada Banyu, “Apa kau mencintai laut, Banyu?”
Banyu tampaknya sedikit terkejut ketika mendengar pertanyaanku, “Ya. Aku dilahirkan di dekat laut. Aku bermain di laut dan aku bisa hidup karena laut. Rasanya mustahil untuk orang sepertiku membenci laut.”
Aku pun kembali bertanya, “Apa itu berarti kau mau membantuku untuk mencintai laut lagi?”
Banyu mengangguk, “Laut mungkin memang kejam, namun laut tidak akan pernah menelantarkan kita, Luna.”
Aku tersenyum, “Oke! Kalau begitu tiap minggu aku bakal ikut kalian mengumpulkan tiram-tiram mutiara itu!” ujarku penuh semangat.
Begitu kami sampai ke tempat ayah, aku memberitahunya tentang keptusanku. Senyuman langsung terukir di wajahnya. Ayah tahu akan ketakutanku akan laut sejak ibu meninggal, namun ayah tidak ingin aku membenci laut. Ayah mengalihkan pandangan ke arah Banyu dan mengucapkan terima kasih. Aku tidak yakin dari mana ayah bisa tahu kalau keputusan ini berhasil kuambil karena Banyu. Insting seorang ayah mungkin? Apa pun itu, aku tidak terlalu perduli. Aku ingin berdamai dengan laut, itulah yang kuinginkan.
Semenjak saat itu, hari Mingguku selalu diisi dengan membantu bawahan-bawahan ayah mencari tiram-tiram mutiara. Awalnya hal itu sangat sulit bagiku. Jangankan untuk menyelam sampai ke dasar, untuk bisa masuk ke laut saja itu sudah memerlukan perjuangan yang sangat besar. Namun seiring dengan berjalannya waktu, aku akhirnya berhasil mengatasi ketakutanku akan laut. Aku mungkin belum bisa mencintai laut seperti dulu, namun setidaknya ketakutanku sudah tidak sebesar dulu lagi. Kemajuanku ini tidak lepas dari dukungan dan juga dorongan dari Banyu dan bawahan-bawahan ayah. Tidak perlu waktu lama sampai aku menganggap mereka sebagai bagian dari keluargaku sendiri.
Hidupku bisa dibilang berjalan lancar. Setidaknya sampai hari itu datang. Hari Minggu itu tidak berbeda dengan minggu-minggu lainnya, atau setidaknya itulah yang kurasakan. Semua berjalan cukup normal, penyelaman yang kulakukan dengan Banyu dan yang lainnya berawal cukup mulus. Namun saat kami memutuskan untuk berenang menuju ke permukaan, arus air berubah secara drastis. Arus tenang yang tadi menemani kami menyelam hilang entah kemana, meninggalkan kami dengan arus yang menyerang kami dengan sangat ganas.
Aku perlu beberapa saat untuk menyadari apa yang terjadi. Tsunami. Ya, tsunami tengah menerjang Maluku. Kepanikan langsung menerpaku. Tubuhku yang kecil mulai terbawa arus yang ganas. Untungnya sebuah tangan mencengkram tali yang menghubungkan tabung oksigen dengan diriku. Aku berbalik dan kelegaan langsung menerpaku. Banyu telah menyelamatkanku. Namun aku sadar, kalau dalam kondisi seperti ini, Banyu tidak akan bisa bertahan. Walaupun Banyu merupakan penyelam tradisional yang bisa menahan nafas sampai hampir dua menit, arus yang ganas ini bukanlah tandingannya.
Aku berusaha menenangkan diri sebisa mungkin. Aku lalu memberikan selang ekstra yang terhubung dengan tabung oksigen milikku kepada Banyu. Dalam hati, aku sangat bersyukur karena masih harus menggunakan tabung oksigen untuk menyelam bersama mereka. Setelah beberapa saat, air akhirnya menjadi tenang. Banyu memberisyarat agar kami naik ke atas. Aku mengangguk pelan. Sadar kalau kondisi Banyu yang sempat kekurangan oksigen itu mungkin tidak cukup kuat untuk berenang ke atas sendiri, aku memutuskan untuk membantunya. Aku lalu melingkarkan tangan kanannya di pundakku dan tangan kiriku di pinggangnya. Aku pun mulai menarik Banyu menuju permukaan sekuat tenaga.
Betapa terkejutnya diriku ketika menyadari kalau kami sudah terseret arus sejauh 25 meter. Dengan sisa-sisa tenagaku, aku pun kembali menarik Banyu. Kali ini ke arah perahu. Begitu sampai ke dekat perahu, bukan main terkejutnya Pak Abas melihat kondisi Banyu yang mengkhawatirkan itu. Pak Abas pun mulai membantuku menaikkan Banyu. Begitu Banyu berhasil dinaikkan, Pak Abas mengulurkan tangannya dan membantuku naik. Saat aku sudah berada di dalam perahu Pak Abas akhirnya membiarkan pertanyaan mengalir keluar dari mulutnya, “Dek Luna, kok Banyu bisa sampe kayak gini? Emang tadi di bawah kenapa, Dek?”
Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu akhirnya menjawab pertanyaan Pak Abas, “Saya gak yakin pak. Tapi tadi pas kita lagi nyelam, arusnya tiba-tiba jadi kenceng banget. Kalo bukan karena Banyu yang megangin saya, saya pasti udah keseret arus.”
Pak Abas lalu mengalihkan pandangan ke sekitar perahau, “Dek Luna ngeliat yang lain gak dek?”
Aku menggeleng sedih. “Enggak pak. Pas arusnya jadi kenceng, saya jadi panik, saya jadi gak sempet merhatiin yang lain. Satu-satunya yang saya liat ya cuman Banyu pak,” ujarku dengan nada terguncang.
Pak Abas terdiam mendengar kata-kataku. Setelah memastikan kalau Banyu baik-baik saja, Pak Abas menyalakan motor perahu dan mengarahkannya menuju ke arah pantai. Selama perjalanan, aku mengarahkan pandangan, berusaha menemukan letak karamba ayahku yang menjadi patokanku akan pantai. Pantai mulai terlihat, namun karamba ayahku sama sekali tidak terlihat keberadaannya. Rasa panik dan takut merengkuh diriku. Aku takut.
Di mana karamba ayahku? Bagaimana jika laut mengkhianatiku lagi? Bagaimana jika ia mengambil ayahku seperti ia mengambil ibuku? Bagaimana jika laut mengambil Tante Citra? Bagaimana nasib abang-abang ku? Apakah orang-orang yang bekerja di karamba ayah baik-baik saja? Bagaimana nasib mereka? Apakah ini berarti laut sudah membenciku? Apakah Tuhan sudah melupakanku? Akankah aku bertemu dengan ayah dan yang lainnya lagi?
Berbagai pertanyaan terlintas di benakku. Saat aku melihat puing-puing karamba ayah di pantai, hatiku serasa hancur. Aku melompat turun dari perahu dan berlari menuju puing-puing itu, berharap menemukan sesuatu yang masih selamat. Aku jatuh terduduk ketika menyadari kalau sudah tidak ada yang tersisa. Tiram-tiram yang sebentar lagi siap dipanen mutiaranya, hilang sudah ditelan laut. Kurungan-kurungan yang awalnya berisi tiram-tiram itu patah dan melengkung ke berbagai arah. Air mata mulai menetes dari mataku, aku perlu beberapa saat sebelum menjeritkan tangisku. Aku menangis meraung-raung, memukul-mukul pasir yang berserakan di pantai seraya memaki laut.
Aku benci laut. Aku benci laut! Laut sudah mengambil ibuku! Laut sudah mengambil segalanya dariku! Aku muak! Jika laut memang membenciku, kenapa ia tidak mengambilku saja? Kenapa ia harus menyiksaku seperti ini?
Raunganku terdengar ke berbagai arah. Aku sudah tidak sanggup lagi. Siksaan ini terlalu besar untukku. Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuhku di bahu. Aku berbalik dan menemukan Banyu yang berjalan tertatih, sambil dipapah oleh Pak Abas. “Jangan benci laut, Luna,” ujar Banyu lemah.
Aku menggeleng tidak setuju. “Kenapa? Kenapa aku gak boleh membenci laut? Kenapa?” tanyaku tajam.
Banyu menggeleng pelan mendengar pertanyaanku. Sebelum akhirnya berkata, “Aku hanya punya laut Luna. Laut sudah membantuku dan ratusan orang lainnya.”
Air mata kembali mengalir dari mataku. “Tapi kenapa ia mengambil semuanya dariku? Kenapa ia harus menyiksaku seperti ini?”
“Laut tidak mengambil semuanya dari dirimu, laut hanya mengambil sebanyak apa yang kita ambil darinya, Luna. Kita sudah mengambil ikan, mutiara, dan yang lainnya dari laut. Kita ini sudah merampok laut secara tidak sadar. Kau mungkin tidak tahu, tapi apa yang diambil laut dari kita itu jauh lebih sedikit dari apa yang sudah kita ambil darinya,” ujar Banyu sambil memelukku.
Aku terisak. Bukan hanya karena kesedihan dan derita yang menerpaku, tapi juga karena aku menyadari kalau kata-kata Banyu itu benar. Banyu tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya diam sambil memeluk tubuhku yang masih bergetar. Aku terlalu takut untuk menerima kenyataan ini. Aku bersyukur Banyu hanya memelukku dalam diam. Aku tidak memerlukan kata-kata manis untuk menghiburku, yang aku butuhkan adalah seseorang yang memelukku tanpa mengucapkan apapun. Seseorang yang ada saat kubutuhkan.
Setelah beberapa saat, suara isak tangisku mulai hilang ditelan oleh deburan ombak. Aku mengangkat wajahku dan menatap Banyu. “Aku mau cari ayah,” ujarku tegas.
Banyu mengangguk. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya kepadaku seperti saat pertama kali aku menangis dihadapannya. Aku meraih tangannya dan membiarkan Banyu menarikku. Dengan langkah yang diseret, kami pun mulai berjalan menyusuri pantai. Sejauh ini, yang kami temukan hanyalah puing-puing. Pemandangan yang ada di depan mataku jauh dari menyenangkan, namun di sudut kecil hatiku, aku bersyukur karena belum menemukan tanda-tanda adanya korban.
Harapan mulai tumbuh di sudut hatiku ketika aku melihat Chiko, anjing kecil yang biasa bermain di pantai bersamaku dan Banyu. Chiko menyalak-nyalak senang ketika melihatku. Aku berjongkok pelan dan membenamkan wajahku di bulunya. Aku terkejut ketika menyadari kalau bulunya ternyata kering. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun Chiko tiba-tiba membebaskan diri dari pelukanku dan menyalak-nyalak. Awalnya aku bingung, tapi karena merasa Chiko ingin kami mengikutinya, kami pun memutuskan kalau hal itu tidak ada salahnya untuk dicoba.
Kami berjalan tanpa berbicara sama sekali, kesunyian itu hanya dipecahkan oleh salakan Chiko dan deburan samar ombak. Awalnya aku tidak yakin kemana Chiko menuntun kami, namun aku tiba-tiba sadar kalau ternyata Chiko menuntun kami ke arah tebing yang ku kunjungi bersama Banyu pada hari aku bertemu dengannya. Aku tidak mengerti mengapa Chiko membawa kami ke sini.
Suara riuh rendah mulai terdengar dari atas tebing. Aku berhenti menelan ludah. “Apakah itu sama dengan apa yang kupikirkan?” tanyaku dalam hati.
Sadar kalau satu-satunya cara untuk mengetahui jawabannya adalah pergi ke atas sana, aku langsung berlari sekuat tenaga. Paru-paruku yang menjerit meminta udara tidak kudengarkan. Aku tidak peduli jika paru-paruku robek. Aku harus tahu jawabannya. Begitu sampai di atas tebing. Aku kontan berhenti dan menatap pemandangan di depanku. Keluargaku dan warga yang lainnya berkumpul di atas sana, saling menolong satu sama lain yang terluka. Aku jatuh terduduk merasa lega ketika melihat pemandangan yang ada di depanku. Air mata kembali mengalir di wajahku. Air mata kelegaan karena menyadari kalau semuanya baik-baik saja.
Ayahku berbalik dan menyadari keberadaanku. Ia langsung berlari dan memelukku. Aku perlu beberapa saat untuk menyadari apa yang terjadi. Dengan tangan yang bergetar aku memeluk ayahku. Tante Citra, abang-abangku, dan juga yang lainnya datang dan menyambut kami. Di sela isak tangisku, aku kembali menceritakan apa yang terjadi saat kami menyelam. Ayahku mendengarkan semua ceritaku tanpa memotongnya. Begitu selesai, ayahku langsung mengucapkan terima kasih kepada Banyu.
Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaaku saja, tapi wajah Banyu tidak terlihat seperti biasanya. Aku pun bertanya akan sebabnya. Dengan senyuman sedih, Banyu memberitahuku kalau ibunya tidak berhasil sampai ke tempat aman. Aku terdiam mendengar cerita Banyu. Aku memang jauh lebih beruntung. Aku memberanikan diri untuk memeluknya. Dalam dekapanku, Banyu terisak pelan.
Begitu Banyu puas menangis, aku memohon permisi dan mencari ayahku. Aku berhasil menemukan ayahku yang sedang berbicara dengan Pak Abas. Aku menariknya pelan dan menanyakan sesuatu. Ayah terdiam sementara aku menceritakan apa yang ada di kepalaku. Ayah mengangguk dan berjanji akan mengatur semuanya begitu keadaan mulai tenang. Sebelum aku sempat berterima kasih kepadanya, ayahku memberitahuku tentang kondisi kami. Aku terdiam mendengar kerugian yang disebabkan oleh tsunami itu.
Aku sangat bersyukur karena para warga berniat untuk membantu ayah. Aku tersenyum melihat semangat gotong-royong yang mereka miliki. Namun yang lebih kukagumi dari mereka adalah kecintaan mereka terhadap laut yang tak pernah pudar.
Tepukan pelan di bahuku menyadarkanku dari lamunan. Banyu, abang angkatku berdiri di belakangku sambil tersenyum kecil. Aku membalas senyumannya sebelum berbalik dan kembali menatap ke kejauhan. Memperhatikan langit yang bergabung dengan laut, membentuk suatu daerah tak berujung.
Laut mungkin telah mengambil sesuatu dari kita, namun apa yang diambilnya tidak sebanding dengan apa yang telah kita ambil darinya. Kita mungkin tidak sadar, namun tanpa laut, kita bukanlah siapa-siapa. Laut mungkin telah mengambil sesuatu yang berharga, namun ia telah memberikan kita sesuatu yang jauh lebih berharga sebagai balasannya.
Aku tidak tahu bagaimana cerita kalian dengan laut. Namun, laut telah memberikan sebuah hadiah yang sangat indah untukku. Hadiah itu bernama keluarga.

Semu

Bayu menempelkan keningnya ke kaca jendela mobil. Ini adalah salah satu hari yang tidak ditungu-tunggunya. Hari ini sekolahnya akan pergi ke daerah, yang menurut Bayu, terpencil. Saat ia diberitahu hal tersebut minggu lalu, ia langsung mengerutkan bibir. Ia jauh dari berminat untuk mengikuti program sekolah tersebut, namun ia tidak memiliki pilihan lain selain mengikutinya. Sudah bukan sekali dua kali ia diancam untuk tidak naik kelas oleh gurunya. Kalau boleh jujur, ia tidak peduli ia naik kelas atau tidak. Bagi Bayu, sekolah itu tidak penting, tidak memiliki makna, tidak berguna. Tapi entah mengapa ia tidak terkejut kalau orang tuanya sangat mendewakan sekolahnya.
“Bay! Turun, Bay! Kita dah nyampe!” ujar Alfan, abang Bayu .
Bayu menggeram pelan dan berjalan keluar mobil. Dengan keengganan yang sangat jelas, Bayu menyeret langkahnya dan mengambil tasnya dari bagasi. Alfan yang menyadari hal tersebut, menatap Bayu dengan wajah menahan tawa. “Kayaknya gak perlu segitunya deh, Bay. Emang segitu parahnya ya, ikut kegiatan sekolah? Gue sih malah seneng kalau disuruh ikut yang beginian!” ujar Alfan sambil menahan tawa.
Bayu menatapnya tajam, “Ya udah! Kalo gitu abang aja yang pergi!”
Alfan mendengus pelan, “And cancel my date? No thanks, I’ll pass. Ngapain juga gue ikut kayak ginian! Gue tuh udah kuliah, Bay! Udah bukan bocah lagi!”
“Jadi maksud lo, gue masih bocah?”
Alfan mengangkat bahu, “Sorta. Anyway, abang harus pergi! Abang dah telat buat ngejemput si cuyung! Bye!”
Bayu menatap abangnya pergi dengan pandangan jijik seakan mau muntah. Begitu mobil Alfan menghilang dari pandangan, Bayu menyeret tasnya menuju lapangan basket, tempat dimana ia seharusnya berada sekarang.
“Bay, sini!” suara panggilan itu membuatnya mengangkat wajah. Ternyata yang memanggilnya adalah Ogan, salah seorang anggota kelompoknya.
Bayu berjalan setengah hati. Begitu sampai di samping Ogan, Bayu langsung melemparkan tasnya ke dekat tas milik Ogan dan Rian yang merupakan anggota kelompoknya. “Tumben lo dateng ke acara ginian, Bay! Gue hampir 100% yakin lo bakal gak dateng!” ujar Ogan sambil memberikan tatapan mengejek.
“Lo kayak gak tau bokap gue aja, Gan! Gue justru heran kalo dia tiba-tiba enggak ngedewain sekolah. Lo kayak gak ngerti penderitaan gue aja,” ujar Bayu tanpa semangat.
“Iya juga sih, Bay. Bokap lo tuh emang rada maniak kalo udah nyampe ke hal-hal yang berkaitan sama sekolah!”
“Emang! By the way, kita mau kemana sih?” tanya Bayu dengan tak acuh.
Ogan yang mendengar pertanyaannya langsung terbelalak, “Lo ikut, tapi lo gak tau kita mau ke mana?”
Bayu mengangkat bahu. Ia tidak merasa bersalah sama sekali, sebab kepergiannya ini bukanlah keinginannya, melainkan orang tuanya. Ogan yang menyadari hal itu hanya menggeleng pelan, “Sekarang kita bakal ke Bandung dulu, buat ngeliat sekolah lain yang bakal ikut kegiatan ini. Sorenya baru kita ke Pangalengan.”
“Anjrit! Itu perjalanan panjang banget!” maki Bayu.
Ogan hanya menggeleng mendengar kata-kata temannya tersebut. Sebelum Bayu sempat mengatakan hal lain, mereka sudah disuruh masuk ke dalam bus. Bayu sadar kalau apapun yang dilakukannya sekarang tidak akan memberikan perbedaan sama sekali. Begitu masuk ke dalam bus, Bayu langsung menghempaskan diri ke kursi yang terletak di samping jendela. Ia menyandarkan keningnya ke kaca yang dingin, sementara tangannya memasangkan headset yang selalu dibawanya. Begitu mesin menderu dan guru mulai berkicau, Bayu langsung memutar musik dengan volume maksimal, mengusir suara-suara yang tidak diinginkannya. Tidak perlu waktu lama sampai Bayu jatuh tertidur dalam hentakan musik yang didengarkannya.
Bayu tertidur selama beberapa jam. Ia sedikit terkejut ketika menyadari kalau mereka sudah sampai. Ia tidak menyangka perjalanan dari Jakarta ke Bandung ini ternyata memakan waktu yang lebih lama dari yang diperkirakannya. Bayu menggeliat malas di kursinya. Ia berbalik menatap Ogan yang tertidur dengan kepala yang tersandar di bahunya. Cengiran nakal langsung terukir di wajah Bayu. Tanpa peringatan sebelumnya, Bayu berdiri, membentur kepala Ogan secara sengaja. Ogan yang sedang tertidur nyenyak sontak terbangun dan menyemprot Bayu dengan kata-kata’mutiara’ miliknya. Bayu terkekeh mendengar kata-kata tersebut, tapi tidak benar-benar memperdulikannya.
Bayu melompat turun dari bus dan menatap sekolah yang ada di depannya dengan satu alis yang terangkat. Bila dibandingkan dengan sekolahnya, SMA Mutiara Bunda, sekolah yang ada di depannya, bukanlah apa-apa. Tepukan pelan di bahunya menyadarkan Bayu dari lamunannya. Ternyata yang menepuk bahunya adalah Pak Reza, satu dari beberapa orang guru yang disukai oleh para murid. “Kenapa Bay? Mukamu kok kayak ngeremehin?” tanya Pak Reza.
Bayu mengangkat bahu, “Gak sih pak, cuman gak ngerti aja.”
“Gak ngerti gimana?”
“Saya gak ngerti kenapa kita harus bikin kegiatan kayak gini. Soalnya buat saya, kegiatan ini pointless banget! Dan kenapa juga harus ngellibatin sekolah lain? Bikin sekolah kita kayak gak bisa ngapa-ngapain aja!” ujar Bayu seraya menatap gurunya itu.
Pak Reza menggeleng pelan, “Bayu, kamu mungkin bukan satu-satunya murid yang berpikiran kayak gitu, tapi bapak berani bertaruh kalau dalam dalam 3 hari ke depan, kamu pasti bakal ngerubah pendapat kamu. Percaya deh sama bapak.”
Bayu menggeram pelan. Ia pasti akan membantah kata-kata tersebut jika saja bukan Pak Reza yang mengatakannya. Pak Reza adalah satu-satunya orang yang membela Bayu dan kelasnya saat mereka direndahkan oleh guru-guru yang lain. Hal itulah yang membuat Bayu menyegani Pak Reza.
“Kamu kumpul gih bareng yang lain, Bay! Anak-anak dah pada baris,” ujar Pak Reza sambil mendorong Bayu pelan.
Bayu mengangguk dan berjalan menuju barisan kelompoknya. “Ngapain lagi sih?” tanya Bayu kepada Ogan.
“Gak tau. Kayaknya sih mau ngenalin kita ma anak-anak sini!” ujar Ogan sambil memainkan PSP miliknya.
Selang beberapa detik Ogan mengatakan hal tersebut, mereka memang berkenalan dengan anak-anak sekolah itu. Memang tidak semuanya, hanya para ketuanya saja. Saat para ketua tersebut disuruh memperkenalkan diri, Bayu terpaksa ikut maju karena ia juga merupakan ketua kelompok.
“Saya Bayu Adyatama. Kelas 10-C, SMA Pelita Harapan Jakarta. Ketua kelompok 7,” ujar Bayu setengah hati.
Proses tersebut berlangsung selama beberapa menit. Bayu tidak memperhatikan anak-anak lainnya memperkenalkan diri. Matanya justru terpaku ke seorang gadis yang berdiri bersama teman-temannya. Gadis berambut ikal itu menoleh menatap Bayu, seakan tahu kalau Bayu tengah memperhatikannya. Bayu yang menyadari kalau gadis itu menatap balas dirinya langsung memalingkan wajah. Gadis itu tersenyum kecil melihat reaksi Bayu.
Begitu prosesi itu berakhir, guru-guru kemudian membagi mereka menjadi dua kelompok dan menyuruh mereka untuk memasuki 2 bus yang sudah disediakan. Bayu dan kelompoknya kebagian bus nomor 1. Seperti sebelumnya, Bayu langsung menghempaskan badannya ke kursi di samping jendela dan memasang headset yang sudah menemaninya sejak perjalanan awal tadi.
Selama perjalanan, Bayu melemparkan pandangannya keluar jendela. Ia sama sekali tidak berminat untuk mengikuti percakapan seru yang terjadi setelah keakraban terjalin antara murid kedua sekolah itu. Bayu tidak peduli akan semua itu. Satu-satunya hal yang diinginkannya adalah kegiatan ini segera selesai supaya ia bisa kembali ke rumah. Bayu yang pikirannya sedang melayang meninggalkan tubuhnya, dikejutkan oleh munculnya sebungkus biskuit dari atasnya. “Mau gak?” tanya gadis yang tadi diperhatikan Bayu saat perkenalan.
Bayu menatap gadis itu seraya mengambil biskuit yang ditawarkannya. “Thanks,” gumam Bayu pelan.
Gadis itu tersenyum melihat Bayu yang mengambil biskuit dari tangannya. Ia lalu mengulurkan tangan, mengajak berkenalan. “Aku Ai,” kata gadis itu yang masih tersenyum manis.
“Bayu,” jawab Bayu tanpa repot-repot menjabat tangan Ai.
Ai mengerutkan kening, tidak memahami alasan Bayu menolak menjabat tangannya. “Kamu kenapa?” tanya Ai dengan nada prihatin.
“Gak papa. Bukan urusan lo,” ujar Bayu tajam.
Ai menatapnya selama beberapa saat sebelum mengangkat bahu dan berbalik meninggalkan Bayu. Bayu yang ditinggalkan sendiri akhirnya memutuskan untuk tidur karena sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya.
Rasanya belum lama Bayu tertidur saat Ogan mengguncang pundaknya dan membangunkannya. “Kita dah nyampe, Bay.”
Bayu mengangguk dan mengikuti yang lainnya turun. Mereka turun dan setelah mendapat pengarahan singkat, tiap grup diperkenalkan kepada warga yang rumahnya akan mereka tempati. Kelompok Bayu kebagian tempat Pak Iqbal, seorang bapak yang memiliki kebun yang cukup luas. Ketika mereka semua sudah berdiri dan hendak meninggalkan tempat Pak Ruslan yang dijadikan sebagai ‘markas’mereka, Pak Reza menghentikan mereka. “Sebelum pergi, tolong kumpulkan semua alat komunikasi, dan juga alat hiburan kalian,” ujar Pak Reza yang langsung diterjang oleh protesan para siswa, namun Pak Reza tidak memperdulikan hal tersebut, “ Bapak tahu kalian tidak setuju, tapi bapak mohon agar kalian mengumpulkannya. Ini semua demi kebaikan kalian.”
Bayu menghela nafas sebelum akhirnya maju dan mengumpulkan barang-barang yang tadi disebutkan. Ia sebenarnya tidak terlalu peduli, tapi ia harus jujur kalau ia akan merindukan musik yang selalu menemaninya. Begitu proses ‘penyitaan’ selesai, mereka akhirnya berjalan menuju rumah yang telah ditentukan.
Saat sampai di rumah Pak Iqbal, Bayu, Ogan, dan Rian langsung disambut hangat oleh Pak Iqbal dan istrinya. Mereka lalu mengajak Bayu, Ogan, dan Rian untuk makan malam bersama mereka. Mereka berbincang-bincang seraya menghabiskan makan malam. Perasaan rindu tumbuh di hati Bayu. Entah sudah berapa lama ia tidak makan bersama orang lain. Orang tua dan abangnya terlalu sibuk untuk menghabiskan waktu seperti ini bersamanya. Pak Iqbal memberitahu mereka tentang kegiatan yang akan mereka lakukan besok. Puas bercakap-cakap, Pak Iqbal menunjukkan tempat mereka tidur. Ogan dan Rian sepertinya langsung pergi ke dunia mimpi begitu kepala mereka menyentuh bantal. Namun hal itu tidak berlaku untuk Bayu. Bayu berbaring menatap langit-langit. Ia merasa iri dengan keluarga Pak Iqbal yang bisa menghabiskan waktu bersama-sama, tidak seperti keluarganya yang sibuk dengan urusan masing-masing. Bayu menghela nafas dan memutuskan untuk tidur. “Pak Reza mungkin benar,” pikir Bayu sebelum jatuh tertidur.
Matahari baru saja akan memulai tugasnya ketika Bayu terbangun. Dengan keadaan setengah sadar ia membangunkan Ogan dan Rian yang masih ada di dunia mimpi. Bayu lalu bergerak dan bersiap-siap untuk bekerja di ladang. Hari ini ia dan yang lainnya akan mencabuti gulma dan menyemprotkan pestisida organik ke tanaman-tanaman milik Pak Iqbal.
Mereka bekerja dari jam 06.30 sampai jam 11.15 di mana mereka memutuskan untuk makan siang dan beristirahat. Makanan yang disajikan oleh istri Pak Iqbal mungkin sangatlah sederhana. Hanya berupa tempe goreng dan telur yang dibumbui, namun untuk Bayu, makanan tersebut rasanya sangat luar biasa. Ia tidak yakin apakah makanan ini benar-benar sangat enak atau karena ia benar-benar kelaparan atau karena ia benar-benar merindukan masakan dan kehangatan yang seperti ini. Setelah menghabiskan makan siang mereka, Bayu, Ogan, dan Rian pamit karena mereka harus melapor ke tempat Pak Ruslan.
Begitu sampai di sana, pandangan Bayu lagi-lagi terpaku kepada Ai. Gadis itu seakan mengingatkannya dengan adiknya yang sudah meninggal. Bayu menggelengkan kepala. “Dea mungkin udah meninggal, tapi bukan berarti kalo Dea udah tidak ada lagi. Dea akan selalu ada di hati gue,” ujar Bayu dalam benaknya.
Bayu sedikit terkejut ketika ia dan beberapa orang lainnya ditugaskan untuk mengajak anak-anak di tempat itu bermain. Bayu bukannya tidak suka anak-anak, ia hanya tidak tahu bagaimana cara menangani mereka, namun ia tidak memiliki pilihan. “Bayu juga harus ngajak anak-anak main yah?” tanya Ai dari belakangnya.
Bayu mengangguk. Ia tidak tahu kalau satu kelompok dengan Ai itu hal baik atau buruk. Kelihatannya Ai itu sangat cekatan menangani anak-anak, namun Ai juga menyakiti hatinya karena ia begitu mirip dengan Dea. “Ada ide mau ngasih game apa, gak?” tanya Ai.
“Jangankan buat game, gue aja gak tau gimana caranya ngadepin anak-anak!” ujar Bayu sambil mendengus pelan.
Ai tertawa kecil mendengarnya. “Bayu ternyata lucu juga, yah! Gimana kalo game-nya sambung kata aja? Kan gampang!”
Bayu mengangkat bahu, “Terserah lo aja deh! Gue ngikut aja.”
Akhirnya mereka memutuskan untuk mengajak anak-anak itu bermain sambung kata. Bayu sebenarnya tidak benar-benar membantu, ia hanya berdiri diam sebagai juri. Ia mengawasi anak-anak tersebut sambil sesekali mencuri pandang ke arah Ai yang sepertinya sangat bersemangat. Bayu tersenyum kecil ketika menyadari kesamaan lain antara Ai dengan mendiang adiknya.
Begitu selesai bermain, Ai duduk di serambi rumah Pak Ruslan sambil terengah-engah karena sudah menggunakan sebagian besar tenaganya untuk bermain dengan anak-anak. Bayu berjalan mendekat sambil membawa sebotol air minum. Ai yang jelas-jelas membutuhkannya, menggumamkan terima kasih sebelum menenggak habis minum yang diberikan Bayu itu. Bayu terkekeh saat melihat Ai menenggak minum yang diberikannya dengan rakus. Ai menatap Bayu dengan pandangan bertanya-tanya, “Kenapa?”
Bayu menggeleng pelan sambil tersenyum kecil, “Gak. Lo ngingetin gue sama adek gue.”
“Bayu punya adek?” tanya Ai dengan mata yang membulat karena terkejut.
Bayu mengangguk, tapi tidak mengatakan apa-apa. Ai bisa melihat jelas mata Bayu yang terluka, “Bayu mau nyeritain ke Ai gak, adeknya Bayu kenapa?”
Bayu mengambil nafas dalam-dalam, sebelum bercerita tentang Dea. Bagaimana Dea dulu dan bagaimana senyuman Dea menghiasi hari-hari terakhirnya sebelum Tuhan mengambil nyawanya.
Begitu Bayu selesai bercerita, Ai langsung berjongkok di depan Bayu dan meletakkan tangannya ke kedua sisi wajah Bayu lalu berkata, “Bayu, Dea itu tetep tersenyum sampe dia meninggal itu karena Dea sayang sama Bayu. Dea itu sayaaaang banget sama Bayu, jadi Bayu gak boleh sedih. Soalnya Dea juga bakal sedih kalo Bayu sedih. Bayu gak mau kan Dea sedih?”
Bayu tersenyum mendengar kata-kata Ai yang terkesan polos, namun ia tahu semua itu benar. “Makasih ya, Ai. Lo udah mau dengerin cerita gue.”
“No problem!” ujar Ai senang.
Sebelum Bayu sempat mengatakan apapun, tanah tiba-tiba berguncang. Bayu perlu waktu beberapa saat untuk menyadari kalau saat itu gempa tengah terjadi. Bayu langsung menarik tangan Ai dan berlari keluar. Gempa itu sebenarnya hanya gempa kecil, namun para warga yang sempat mengalami gempa besar 2 tahun yang lalu sempat panik. Bayu tidak terlalu memperhatikan orang lain, yang diperhatikannya adalah Ai yang mulai bergetar tidak terkendali. Bayu tidak tahu apa yang menyebabkannya, namun Ai tiba-tiba pingsan.
Wajah Bayu langsung berubah pucat ketika menyadari hal tersebut. Ia khawatir kalau Ai terluka atau semacamnya. Untungnya, salah seorang teman Ai datang dan memberi tahu Bayu kalau Ai hanya trauma. Ternyata Ai berada di Jepang saat gempa dan tsunami yang menimpa negara tersebut. Bayu mengangguk. Lega karena Ai tidak terluka, namun bukan berarti ia tidak cemas. Begitu Ai terbangun, ia langsung dibawa masuk ke rumah Pak Ruslan supaya ia bisa beristirahat.
Sadar kalau tidak ada yang bisa dilakukannya, Bayu memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Iqbal. Sepanjang perjalanan, Bayu menyaksikan para warga yang membantu warga-warga yang terluka karena panik dan ingin menyelamatkan diri. Pemandangan itu membuat Bayu kembali berpikir akan perbedaan besar yang ada diantara warga kota dan warga desa. Pengalaman ini merupakan sesuatu yang baru untuk Bayu. Ia iri dengan para warga yang masih memikirkan kondisi orang lain walaupun kondisi mereka juga tidak mendukung.
Belum sampai setengah jalan, gempa susulan kembali terjadi. Kali ini agak lebih keras dari sebelumnya. Orang-orang kembali berlari keluar rumah, berusaha untuk menyelamatkan diri. Bayu kembali berlari, namun bukan untuk menyelamatkan diri, melainkan untuk mnyelamatkan Ai. Walau pun baru sebentar, Ai sudah seperti adiknya. Bayu sudah kehilangan Dea, ia tidak mau kehilangan Ai juga. Gempa berhenti sesaat sebelum Bayu mencapai rumah Pak Ruslan. Tanpa memikirkan sopan-santun, Bayu langsung menerobos masuk untuk menjemput Ai. Bayu menemukan Ai yang duduk tersudut sambil memeluk kepalanya erat-erat. Bayu datang dan memeluk Ai, berusaha menenangkannya.
Tuhan seakan sedang mempermainkan Ai dan warga desa tersebut. Gempa kembali terjadi. Sadar kalau Ai tidak akan pulih dalam waktu dekat, Bayu menggendongnya keluar. Sebelum berhasil mencapai tempat aman, puing-puing rumah mulai berjatuhan. Sebuah balok besar nan tajam menancap dengan sukses di perut kanan Bayu. Bayu menjerit kesakitan, sadar kalau ia tidak akan bisa membawa Ai keluar dengan keadaan seperti ini, Bayu mengumpulkan tenaga dan melemparkan tubuh mungil Ai keluar rumah.
Tubuh Ai mendarat tidak terlalu jauh, namun cukup jauh dari zona berbahaya ini. Bayu menatap Ai yang tidak sadarkan diri itu dengan kelegaan yang luar biasa. Ia mungkin tidak berhasil menyelamatkan Dea, namun ia setidaknya berhasil menyelamatkan Ai.
Darah yang mengalir dan tanah yang masih bergoncang membuat Bayu jatuh terlentang, menghadap langit. Kesadaran Bayu mulai menghilang karena rasa sakit yang dialaminya, namun Bayu tetap tersenyum. Pak Reza memang benar, tidak sia-sia ia datang ke sini. Bayu belajar banyak hal di tempat ini. Ia juga menemukan hal yang dicarinya selama ini, kehangatan sebuah keluarga. Air mata mulai mengalir turun dari mata Bayu yang mulai kehilangan cahaya kehidupan. Sambil menatap langit, Bayu menyambut detik-detik terakhir hidupnya tanpa penyesalan sedikit pun dalam hatinya, dan dalam keheningan itu, Bayu mulai meninggalkan dunia ini untuk selamanya.