Thursday, June 16, 2011

No Regrets

Perlahan Ei mulai membuka matanya. Hal pertama yang disadarinya adalah bau cairan pembersih lantai dan obat-obatan yang cukup tajam. Ia menolehkan kepalanya dan menatap sejumlah mesin yang entah apa gunanya berdiri di samping tabung oksigen berwarna biru tua yang disambungkan dengan selang yang membantunya bernafas. Ia mengerutkan kening ketika menyadari kalau ia ada di rumah sakit. “Apa yang terjadi?” tanyanya dalam hati.
Sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, rasa sakit yang luar biasa menyerang kepalanya. Refleks ia langsung menggerakkan tangannya ke arah kepala. Namun tangannya sama sekali tidak bisa bergerak. Tangannya terasa kaku. Ei menatap panik tangannya yang tak kunjung memberikan respon. Rasa sakit di kepalanya semakin menjadi-jadi sementara tangannya juga tidak membantu. Setelah beberapa saat, rasa sakit itu menjadi tidak tertahankan. Perlahan, kesadarannya kembali menghilang dalam kegelapan.
Ei kembali terbangun. Kali ini ia terbangun dalam cahaya senja yang berwarna kemerahan. Ia mencoba menggerakkan tangannya, tapi masih tidak ada respon. Tangannya terasa kaku dan tidak bisa digerakkan. Setetes air mata mengalir dari sudut matanya. Ia menatap ke arah jendela yang membanjiri kamarnya dengan cahaya senja yang memilukan. Dengan tubuh yang masih belum bisa bergerak ia mulai terisak. Ia tidak perlu menjadi orang terpintar di dunia untuk menyadari kalau kemungkinan ia bisa menggunakan tangannya seperti dulu sangatlah kecil.
Ia menggigit bibir menahan tangis. Kehilangan tangannya mungkin lebih parah dari pada kehilangan nyawanya sendiri. Kemungkinan ia bisa kembali memainkan biolanya mungkin tidak ada. Suara pintu yang dibuka menyadarkannya dari lamunannya. Ia mengerjapkan mata, berusaha sebaik mungkin untuk mengusir air mata yang sudah siap untuk mengalir. Ia berbalik dan menatap ke arah pintu. Ternyata yang datang adalah sepupunya, Chandra.
Chandra yang menyadari kalau Ei sudah bangun langsung berjalan dan duduk di kursi yang ada di samping tempat tidurnya. “Keadaan kakak gimana?” tanyanya pelan.
Ei berusaha untuk menjawab, namun tenggorokannya menolak untuk bekerja sama. Satu-satunya suara yang berhasil keluar dari tenggorokannya adalah geraman pelan. Chandra yang menyadari hal itu langsung berdiri dan menekan bel untuk memanggil suster. Setelah beberapa saat, seorang suster dengan balutan seragam putihnya datang bersama dokter dan mulai memeriksa keadaan Ei. Puas karena ternyata pasiennya hanya kesulitan berbicara karena baru tersadar dari koma yang cukup lama, mereka akhirnya meninggalkan Ei dengan Chandra di sampingnya. Chandra tersenyum penuh terima kasih sebelum akhirnya menempati kursinya lagi. “Kakak… kakak ingat gak, kakak kenapa?” tanya Chandra pelan.
Ei menggelengkan kepala. Ia sama sekali tidak punya ide kenapa ia berada di rumah sakit maupun alasan kenapa tangannya terasa sangat kaku dan tidak dapat dirasakan. Chandra menatapnya sedih dan mulai bercerita. “Waktu kakak pulang dari Taman Menteng, kakak kan pulang naik taksi karena gak ada yang bisa jemput. Pas diperjalanan, taksi kakak ditabrak orang,” ujar Chandra dengan suara yang tidak lebih dari bisikan.
Kesadaran langsung menghantamnya. Ingatan akan kejadian itu langsung menerobos masuk ke dalam benaknya. Hari itu hari Minggu, tidak berbeda dengan hari-hari lainnya. Saat itu ia ke Taman Menteng untuk bermain biola seperti biasa. Hanya saja saat itu ia terpaksa pulang dengan taksi karena tidak ada yang bisa menjemputnya. Begitu memasuki taksi, ia langsung menghempaskan diri ke kursi belakang dan bersandar ke pintu kanan taksi. Belum lama taksi berjalan, suara klakson yang nyaring terdengar dari arah kanan. Saat itu, waktu seakan berjalan secara perlahan. Dalam waktu sepersekian detik itu, ia bisa melihat mata pengendara mobil yang terlihat panik karena tidak bisa menghentikan mobilnya. Ingin rasanya ia menjerit, namun itu semua tidak sempat. Mobil itu menghantam taksi dari sisi kanan, persis dimana Ei menyandarkan tubuhnya.
Taksi mulai terpelanting seperti bola sebelum akhirnya jatuh terbalik dan berhenti ketika menabrak tiang listrik. Ia berusaha menggerakkan badannya, namun semua itu mustahil. Ia tahu dengan pasti kalau seluruh badannya sudah remuk. Seluruh badannya terasa sakit. Tidak perlu waktu lama sampai ia kehilangan kesadaran dan berakhir di rumah sakit.
Chandra menatap sepupunya dengan pandangan cemas. Ia yakin kalau sepupunya sudah ingat apa yang sebenarnya terjadi. Ei menatap Chandra dan mulutnya mulai bergerak membentuk sebuah kata. Biola. Chandra yang menyadari hal itu menggeleng sedih, “Biola kakak gak tau dimana. Kita udah panik sama keadaan kakak, kita gak sempet mikirin biola.”
Ei menahan air matanya. Biola itu harganya memang tidak seberapa, namun kenangan yang ada di dalamya lah yang tidak terhingga. Biola itu sudah menjadi satu-satunya sahabat dan tempat berbagi semenjak orang tuanya sibuk dengan pekerjaan mereka. Sekarang, dengan hilangnya biola itu, semangat hidupnya juga seakan berkurang. Kepada siapa lagi ia akan berbagi beban? Ia tidak punya teman dan keluarganya terlalu sibuk.
Ei yang sadar kalau ia sudah tidak sanggup menahan air matanya lebih lama langsung mengalihkan pandangan ke arah jendela dan kembali terisak. Chandra yang mendengar suara isak tangis kakak sepupunya itu berdiri dan pamit untuk pulang, memutuskan kalau kakak sepupunya itu perlu privasi.
Ei terisak entah untuk berapa lama. Mentari yang tadi bersinar kemerahan sekarang telah pergi, digantikan oleh bulan yang memancarkan cahayanya dengan lembut. Matanya merah dan sembab. Badannya terasa lelah karena efek obat-obatan, kebanyakan menangis, dan juga karena tekanan akan biolanya yang hilang.
“Kenapa Tuhan melakukan ini? Apa sebenarnya salahku? Apakah Tuhan membenciku? Kenapa harus aku? Apa ini berarti Tuhan sudah membuangku? Melupakanku? Jika memang Tuhan membenciku, kenapa ia tidak mencabut nyawaku saja? Apa ia sangat membenciku sehingga ia lebih suka menyiksaku perlahan-lahan sebelum akhirnya mencabut nyawaku?” pertanyaan-pertanyaan muncul dalam pikirinnya sesaat sebelum ia jatuh tertidur karena kelelahan.
Ei terbangun keesokan harinya. Ia tidak tahu sudah jam berapa saat itu, yang pasti saat itu sudah cukup siang. Sinar matahari yang menyilaukan menerobos masuk tanpa permisi dan menyengat matanya. Ei mengangkat tangan kirinya, berusaha untuk menghalau cahaya itu. Ia tiba-tiba tersadar kalau tangannya tidak bisa bergerak. Ia menggigit bibir bawahnya karena frustrasi. Sebelum ia sempat menangisi keadaannya, suara ketukan terdengar dari arah pintu dan sesosok dokter melangkah masuk. “Bagaimana perasaanmu?” tanya dokter itu.
“Tenggorokanku sakit,” jawab Ei dengan suara parau yang sepelan bisikan.
Dokter itu memberikan senyuman kecil sebelum berkata, “Saya tidak heran. Banyak orang yang baru saja mengalami koma mengalami hal tersbut.”
“Koma?”
“Iya. Setelah operasi, anda sempat koma selama hampir seminggu. Dan selama itu, tidak ada air yang melewatinya. Tenggorokan yang kering bisa dibilang penyebabnya,” ujar dokter itu sambil melakukan pengecekan.
Dokter itu sudah siap untuk keluar, Ei akhirnya memberanikan diri untuk bertanya, “Apa aku masih bisa main biola?”
Dokter itu menghela nafas dan menatap Ei dengan pandangan sedih. “Mungkin. Tapi kemungkinan itu sangat kecil. Ototmu robek di kecelakaan itu. Anda mungkin masih bisa menggunakannya untuk hal-hal sederhana seperti mengancingkan baju dan yang lainnya, namun untuk melakukan pekerjaan berat dan juga pekerjaan yang membutuhkan kelincahan jari seperti bermain musik kemungkinan itu nyaris tidak ada.”
Ei tersentak mendengar hal itu. Walaupun ia tahu kalau kemungkinan ia bisa bermain biola lagi itu nyaris tidak ada, fakta itu semakin menyakitkan ketika seorang dokter mengatakannya dengan terang-terangan di hadapannya. Hatinya serasa hancur. Ia tidak punya apa-apa selain biola. Sekarang setelah hal itu bisa dibilang hanyalah impian belaka, ia sadar kalau ia sendirian.
“Apa tidak ada yang bisa kau lakukan?” tanya Ei dengan nada bergetar, “Aku tidak punya apa-apa selain biola. Sama siapa lagi aku harus berbagi?”
Dokter itu menatapnya sedih, “Anda bisa mencoba menjalani terapi tambahan. Namun kalau pun terapi itu berjalan lancar dan anda bisa menggunakan tangan anda seperti dulu lagi, anda mungkin harus belajar memainkan biola lagi dari awal. Tapi harus saya ingatkan, terapi tambahan ini kemungkinan berhasilnya untuk anda tidak besar, dan juga terapi ini jauh lebih tidak menyenangkan dari terapi wajib yang harus anda jalani.”
Ei terdiam mendengar kata-kata dokter itu. Apakah ini benar-benar yang diinginkannya? Rasa sakit tambahan dengan kemungkinan kecil tidak terdengar menarik. Dan kembali belajar memainkan biola dari awal bukanlah hal yang mudah. Ei tenggelam dalam pikirannya. Dokter yang tahu kalau pilihan itu tidak mudah untuknya memutuskan kalau sudah waktunya ia keluar dan memeriksa pasien lainnya.
Seharian itu, Ei hanya terdiam dan tenggelam dalam pikirannya. Mulutnya mengunyah makanan yang disodorkan oleh suster dengan setengah hati. Kata-kata dokter itu terngiang dalam kepalanya. Ia tidak yakin kalau ia sanggup melewati semua itu. Tidak banyak yang bisa dilakukannya dengan keadaannya yang seperti ini. Ei akhirnya menyerah kepada kebosanan yang menyerangnya dan jatuh tertidur.
Hari berikutnya tidak berbeda jauh dengan hari kemarin. Satu-satunya hal yang membedakannya adalah hari ini ia akan memulai terapinya. Seorang suster membawanya datang dengan sebuah kursi roda dan membawanya ke ruang terapi. Terapi yang dilakukannya ternyata jauh berbeda dari apa yang ada di kepalanya. Satu-satunya yang harus ia lakukan hanyalah berbaring sementara seorang ahli terapi memijit tangan dan kakinya. Ide itu terdengar menggiurkan, namun Ei segera menyesali hal itu.
Awalnya ide akan dipijit itu terdengar menyenangkan, namun begitu ia mulai dipijit, ia mulai menjerit serta sejuta kata makian kelauar dari mulutnya. Ototnya seakan ditarik sampai putus. Air mata tergenang di matanya dan mengalir seiring dengan berjalannya terapi.
Terapi itu sebenarnya hanya berlangsung selama satu jam, namun bagi Ei terapi itu seperti berlangsung selama seabad. Suster yang tadi mengantarnya kembali menjemputnya begitu terapi selesai. Sementara kursi roda yang didudukinya didorong oleh suster, ia kembali memikirkan kata-kata dokternya. Pikirannya bertengkar hebat dalam kepalanya. Sebagian dari dirinya ingin untuk mencoba terapi itu walaupun tahu kalau kemungkinannya sangat kecil. Sementara sebagian lainnya tidak setuju karena menganggap kalau terapi itu tidak sepadan dengan kemungkinannya.
Rutinitas monoton itu berjalan terus menerus selama hampir sebulan, sampai tiba pada saat dimana dokter merasa kalau ia sudah sanggup menggunakan kakinya. Suster memang masih menjemput dengan kursi roda ketika sudah waktunya ia menjalani terapi, namun selain itu, dokter menyarankannya untuk mulai melatih kakinya lagi.
Semua terasa membosankan di tempat ini. Ei memang sudah bisa menggerakkan tangannya, namun baru untuk hal-hal sederhana seperti membuka pintu dan mengambil air. Dan itupun dilakukannya dengan tangan yang bergetar.
Suatu hari, ia memutuskan untuk berjalan-jalan. Saat sedang berjalan, ia berhenti dan menatap taman yang terletak tiga lantai dibawahnya. Godaan untuk mengakhiri hidupnya terasa sangat kuat, namun sebelum ia sempat melakukannya, seorang anak perempuan datang dan berkata, “Jangan bunuh diri dari sini. Kalau loncat dari sini kamu gak bakalan mati. Paling cuman patah tulang.”
Ei menatapnya dengan sebelah alis terangkat. “Apa maksudmu?” tanyanya pura-pura tidak mengerti.
Gadis itu menatapnya dengan cengiran di wajahnya, “Gak usah bohong, deh! Aku udah pernah nyoba bunuh diri, jadi aku tau gimana pandangan orang yang pengen bunuh diri!”
Ei terdiam. Ia tidak percaya kalau gadis di depannya ini pernah menginginkan hal yang sama dengan apa yang diinginkannya saat ini. Gadis itu seakan bisa membaca pikiran Ei. Sambil menghela nafas, ia melepaskan wrist band yang melingkar di tangan kirinya, menutupi bekas luka sayatan yang terlihat dalam.
Gadis itu mengangkat tangannya dan memperlihatkan bekas luka itu kepada Ei. “Aku sudah pernah menyayat pergelanganku. Waktu itu aku sudah hampir mati, tapi sayangnya Tuhan belom mau nerima aku,” ujarnya sambil terkekeh pelan.
“Kenapa kamu pengen mati?” tanya Ei penasaran.
Gadis itu mengangkat bahu, “Gak tau. Aku pengen ngumpul sama keluarga aja! Ortu sibuk kerja, abang sibuk kuliah sambil pacaran sambil ngurus bisnis. Semua pada sibuk, udah gak punya waktu buat ngumpul.”
Ei terdiam berusaha mencerna kata-kata gadis itu, mungkin keadaannya hampir sama dengan keadaan gadis itu. “Kamu sendiri kenapa pengen mati?” tanya gadis itu santai.
Ei terlonjak mendengar pertanyaan gadis itu lalu manjawab, “Aku tidak punya siapa pun untuk diajak bicara. Satu-satunya yang meringankan bebanku hanyalah biolaku!”
Gadis itu menatapnya tajam, “Itu berarti kau mencintai biola kan?”
Ei mengangguk. Tangannya terkepal berusaha menahan amarah. Ia tidak mengerti bagaimana seseorang yang baru ditemuinya bisa selancang ini. “Jadi kau akan menyerah begitu saja?” tanya gadis itu.
“Hah?”
“Kau bilang kau mencintai biola, tapi kau menyerah begitu saja ketika dokter mengatakan kalau kemungkinanmu bisa bermain biola lagi itu kecil. Untuk seseorang yang mengaku mencintai biola, kau itu menyedihkan.” Ei terdiam mendengar pernyataan itu. Ia tidak pernah menyangka kalau akan ditanya seperti itu oleh orang yang baru ditemuinya. Ia menimbang-nimbang sebentar sebelum akhirnya memutuskan kalau tidak ada salahnya ia bercerita tentang apa yang terjadi. “Aku kecelakaan. Ototku robek dikecelakaan itu, dan kayaknya aku gak akan bisa main biola lagi,” ujar Ei pelan.
“Jadi kamu pengen mati karena ada kemungkinan kamu gak bisa maen biola lagi? Cuman karena itu?” tanya gadis itu dengan nada menyindir.
“KAU TIDAK MENGERTI!” bentak Ei, “Aku tidak punya apa-apa selain biola! Keluargaku terlalu sibuk dan aku tidak punya siapa pun untuk diajak bicara. Satu-satunya yang meringankan bebanku hanyalah biolaku!”
Gadis itu menatapnya tajam, “Itu berarti kau mencintai biola kan?”
Ei mengangguk. Tangannya terkepal berusaha menahan amarah. Ia tidak mengerti bagaimana seseorang yang baru ditemuinya bisa selancang ini. “Jadi kau akan menyerah begitu saja?” tanya gadis itu.
“Hah?”
“Kau bilang kau mencintai biola, tapi kau menyerah begitu saja ketika dokter mengatakan kalau kemungkinanmu bisa bermain biola lagi itu kecil. Untuk seseorang yang mengaku mencintai biola, kau itu menyedihkan,” ujar gadis itu tajam, “Aku gak percaya kalau kau benar-benar mencintai biola! Kalau kau menyerah semudah ini, aku rasa cinta kamu ke biola tuh gak segede yang kamu kira.”
Ei terdiam. Apa yang dikatakan oleh gadis itu memang masuk akal. Kesunyian terjadi diantara mereka sampai akhirnya Ei bertanya, “Apa yang kau lakukan di tempat ini?”
“Abangku dirawat di sini. Asmanya kambuh karena terlalu semangat menghadapi clothing event yang diadain kemaren.”
Ei menatapnya dengan alis terangkat, “Jadi kamu disini bukan karena percobaan bunuh diri lagi?”
Gadis itu tertawa mendengar kata-kata Ei. “Enggak, aku udah nyoba sekali dan gak mati. Kayaknya pengalaman itu udah lebih dari cukup. Dan lagi kalo gak langsung mati, sakitnya tuh bener-bener sakit. Mending kalo langsung mati, tapi kalo masuk RS dulu kan sama aja bohong!” ujar gadis itu diantara tawanya.
Ei ikut tertawa. Ia harus mengakui kalau dibalik kata-katanya yang tajam, kurang ajar, dan tidak berperasaan, gadis itu memang benar. Setelah tawa mereka mereda, gadis itu mengulurkan tangannya, mengajak berkenalan. “Aku Bintang.”
“Ei,” jawab Ei, “Sepertinya urutannya salah.”
“Urutan?” tanya Bintang dengan dahi yang berkerut.
Ei mengangguk. “Biasanya orang-orang itu berkenalan lalu mengobrol. Setelah dekat baru mengkritik orang lain,” jawab Ei sambil terkekeh.
Bintang mendengus pelan lalu berkata, “Mau bagaimana lagi? Aku kan bukan orang kebanyakan!”
Ei terbahak mendengar kata-katanya tersebut. Kekakuan yang biasanya dirasakan oleh orang yang baru berkenalan tidak ada diantara mereka. Mungkin hal itu disebabkan oleh percakapan mereka tentang bunuh diri tadi. Mereka mengobrol sampai jam besuk habis. Tidak ingin dirinya diusir, Bintang menanyakan kamar Ei dan berjanji untuk mampir tiap kali ia menjenguk abangnya.
Ei tersenyum dan mengangguk. Bisa dibilang ia beruntung karena bisa mendapatkan teman di tempat seperti ini. Sifatnya yang pemalu sering kali menjadi hambatan dalam mendapatkan teman.
Begitu Bintang pergi, Ei kembali ke kamarnya dengan keputusan bulat. Ia akan mengambil terapi itu. Ia sudah tidak peduli kalau terapi itu menyakitkan. Ia tetap akan mengambil terapi itu walaupun ia sadar kalau kemungkinan besar terapi itu tidak ada gunanya. Ia mencintai biola dan ia akan membuktikan kepada Bintang dan yang lainnya kalau itu bukanlah bualan belaka.
Keesokan harinya, saat dokter datang untuk mengecek keadaannya, Ei mengutarakan niatnya. Dokter itu menatapnya dengan pandangan tidak percaya, “Apa anda yakin? Saya harus mengingatkan kalau terapi ini jauh dari menyenangkan dan juga kemungkinan besar usaha anda akan sia-sia.”
Ei menggelengkan kepala. “Aku sadar kalau kemungkinannya kecil, tapi bukan berarti kemungkinan itu gak ada, kan? Aku suka biola, dan biola itu bisa dibilang satu-satunya hal yang aku punya. Ngelepasin biola tanpa mencoba buatku sama aja kayak dokter ngerelain istri dokter gitu aja.”
Dokter itu tercengang mendengar kata-kata Ei. Bisa dibilang Ei adalah pasien pertamanya yang benar-benar ingin menjalankan terapi. Sadar kalau keputusannya sudah bulat dan tidak bisa diganggu gugat, Dokter itu mengangguk dan mulai mengatur jadwal untuk terapi tambahan.
Begitu dokter itu keluar, Bintang menyelinap masuk dengan cengiran lebar di wajah. “Keren juga kata-katamu!”
Ei menatapnya dengan pandangan bingung. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud oleh Bintang. “Aku sadar kalau kemungkinannya kecil, tapi bukan berarti kemungkinan itu gak ada, kan? Aku suka biola, dan biola itu bisa dibilang satu-satunya hal yang aku punya. Ngelepasin biola tanpa mencoba buatku sama aja kayak dokter ngerelain istri dokter gitu aja,” ujar Bintang sambil meniru gaya bicara Ei.
Semburat merah langsung muncul di wajahnya. “Jangan-jangan dari tadi kau nguping yah?” tanya Ei dengan nada bergetar karena malu.
Cengiran di wajah Bintang semakin lebar. Ia menaikkan tangan kanannya dan menganggkat jari telunjuk dan jari tengahnya, membuat huruf ‘V’ di depan wajah Ei. Wajah Ei semakin memerah melihat Bintang. Bintang hanya tertawa dan mengambil sebatang besar coklat dari kantongnya dan melemparkannya ke arah Ei. “Hadiah karena kau sudah mengucapkan kata-kata sekeren itu.”
Ei menggumamkan terima kasih dan menyimpan coklatnya di meja samping tempat tidur. Ia bercakap-cakap dengan Bintang sampai tiba saat dimana ia harus terapi. Seorang suster datang dengan kursi roda, menjemputnya untuk terapi. Bintang yang tahu kalau ia akan ditinggalkan langsung menatap suster itu dengan tatapan memelas dan meminta izin untuk ikut melihat terapi. Awalnya suster itu menolak, namun Bintang berkata kalau semua ini dilakukannya demi menyelesaikan tugas dan sejuta alasan lainnya. Entah karena kasihan atau apa, Bintang akhirnya diizinkan untuk ikut.
Sepanjang terapi. Tidak banyak yang bisa dilakukannya selain mengobrol dan menggoda Ei. Sekilas hal itu mungkin terlihat menganggu Ei, namun sebenarnya Ei bersyukur karena tidak harus menjalani terapi dengan rasa bosan yang biasa dialaminya.
Begitu selesai, Bintang meminta izin untuk membawa kembali Ei ke kamarnya. Namun bukannya Ei yang duduk di kursi roda, Bintang malah menyuruhnya mendorong kursi tersebut sementara ia duduk di sana. Ei hanya bisa menggeleng melihat kelakuan temannya yang benar-benar antik.
Saat berjalan, Ei bertanya, “Hei… apa kau nyesel kau gak mati?”
Bintang menggeleng. “Gak juga. Kalau waktu itu aku mati, aku gak bakal bisa menggodamu.”
Ei mendengus pelan mendengar jawabannya. “Kau sendiri? Apa kau nyesel karena gak jadi lompat dari tingkat tiga?”
Ei terkekeh pelan. “Kayaknya enggak deh. Kayak yang kamu bilang waktu itu, mending kalo langsung mati. Tapi kayaknya kamu bener, kalo loncat dari sana, aku kayaknya cuman bakal patah tulang. Jadi bisa dibilang kalo aku gak gitu nyesel.”
“Kalo terapi tambahannya gagal dan kamu gak bisa main biola lagi, apa kamu bakal nyesel ngambil terapi itu?” tanya Bintang tiba-tiba.
Ei terdiam sesaat sebelum berkata, “Enggak. Aku gak bakal nyesel. Walaupun aku gagal, seenggaknya aku udah berusaha. So no place for regrets.”
Bintang tersenyum kecil, “Yeah, live is way to short to be filled with something called ‘regret’. Hidup tuh terlalu pendek buat diisi sama penyesalan. Jadi lebih baik kamu ngeliat segala sesuatu yang negatif dari sisi lain.”
“Sisi positifnya aku kecelakaan apa?” tanya Ei.
“Kamu bisa ketemu aku!” ujar Bintang dengan cengiran di wajah.
Ei tertawa mendengar jawabannya. Tapi Bintang mungkin memang benar. Jika ia tidak mengalami kecelakaan, ia mungkin tidak akan pernah bertemu dengannya.

No comments:

Post a Comment