Saturday, June 4, 2011

Endless Zone

Aku terdiam menatap laut yang bertemu dengan langit dari beranda rumahku. Membuat sebuah zona biru yang membentang tanpa batas. Rumahku yang terletak di atas tebing pesisir Maluku ini bukanlah sebuah rumah yang megah, namun rumah ini adalah segalanya untukku. Tidak, aku bukannya tidak sanggup membeli sebuah rumah yang letaknya lebih dekat dengan pusat kota, tapi mungkin kenangan yang kumilikilah yang menahanku di tempat ini. Jutaan peristiwa telah terjadi di tempat ini, di mana tebing tinggi yang telah menjadi rumahku ini menjadi saksi akan apa yang pernah terjadi di tempat ini. Bahkan jauh sebelum aku lahir.
Aku juga memiliki berbagai kenangan di tempat ini. Baik yang menyenangkan maupun tidak, semua yang sudah kualami di tempat ini merupakan kenangan berharga yang tidak akan kutukar dengan seluruh harta yang ada di dunia ini. Mungkin jika ada yang bertanya tentang kenangan apa yang tidak akan pernah kulupakan, aku akan berkata kalau kenangan tersebut adalah kenangan tentang apa yang terjadi sepuluh tahun yang lalu.
Sepuluh tahun yang lalu, aku masih berumur lima belas tahun. Saat itu, ibu yang telah mengasuhku sejak kecil baru saja meninggal. Aku akhirnya dipertemukan dengan ayahku, sebuah sosok yang tidak pernah kulihat selama tiga tahun terakhir. Aku baru saja mengetahui kalau ayahku sudah menikah lagi, kali ini dengan seorang janda beranak dua bernama tante Citra. Tante Citra itu sebenarnya adalah seorang wanita yang lembut dan penuh kasih, namun entah mengapa, aku tidak pernah bisa menganggapnya sebagai seorang ibu. Begitu tinggal dengan ayahku, aku langsung mendapat dua orang kakak kembar yang bernama Andra dan Andri. Mereka berdua mungkin adalah kakak terbaik yang ada di dunia ini. Sekilas, keluarga baruku ini terlihat sempurna.
Ayah yang mapan, Ibu yang lembut, dua orang anak laki-laki yang luar biasa baik, dan seorang anak perempuan yang selalu tersenyum. Bisa dibilang keluargaku itu adalah contoh keluarga bahagia yang sering ada di cerita. Sayangnya, semua itu hanya tampak luar dari keluargaku. Sebaik apapun mereka kepadaku, aku tidak pernah merasa menjadi bagian dari mereka. Aku mungkin terdengar manja, tapi hal itu memang benar. Aku sama sekali tidak mengenal mereka, bagiku mereka tidak lebih dari orang asing. Tawa dan senyumku juga tidak lebih dari topeng yang kupakai demi melindungi diriku dari yang lainnya.
Suatu hari, aku memutuskan untuk ikut ayahku bekerja. Ayahku memiliki usaha pengembang biakan mutiara air laut. Di sana, ayah menjelaskan tentang bagaimana cara tiram itu bisa memproduksi mutiara. Di tengah penjelasannya, aku bertanya kepada ayahku, dari mana ia mendapatkan tiram-tiram tersebut. Sambil tersenyum lembut, ayahku membimbingku ke sebuah perahu yang berisi sekitar lima sampai tujuh orang. Ternyata ayahku membawa ke sebuah perahu yang berisi para penyelam mutiara. Begitu aku dan ayahku naik ke perahu tersebut, para penyelam mutiara itu tersenyum dan menyapa ayah. Saat mereka sibuk menyapa ayahku, pandanganku bertemu dengan pandangan seorang anak laki-laki yang tampaknya hanya beberapa tahun lebih tua dariku.
Sadar kalau pandangan kami bertemu, anak itu mengulurkan tangannya ke arahku, mengajak berkenalan. “Aku Banyu,” ujar anak itu.
Aku menjabat tangannya tanpa mengalihkan pandanganku dari wajahnya. Aku tertegun menatapnya, rambut hitam yang agak berantakan karena terpaan angin, kulitnya yang berwarna agak gelap, dan bekas luka yang melintang dari dada sampai lengan atasnya. Aku sulit mempercayai pandanganku. Aku nyaris tidak percaya kalau ia hanya sedikit lebih tua dariku, namun telah bekerja seperti ini. “Namamu siapa?” tanya Banyu lembut, membuyarkan pikiranku.
“Aku Luna!” ujarku sambil tersenyum, mengenyahkan pikiranku tentang Banyu tadi. Sepanjang perjalanan menuju tempat penyelaman, aku bercakap-cakap dengan Banyu. Dalam waktu singkat, aku tahu kalau Banyu mempunyai seorang kakak laki-laki bernama Tirta yang meninggal saat ia berumur tujuh tahun. Sesuai dugaanku, Banyu memang hanya dua tahun lebih tua dari diriku. Dari percakapan singkat itu, aku menyadari kalau Banyu adalah seseorang yang punya pengetahuan yang luas. Aku yang penasaran kenapa Banyu tidak bersekolah akhirnya menanyakan alasannya. Sambil tersenyum sedih, Banyu memberitahuku kalau ayahnya adalah seorang pemabuk yang suka memukuli ibunya. Semua itu berlangsung secara terus menerus sampai akhirnya ayahnya itu dibawa oleh polisi, meninggalkan Banyu dan ibunya. Banyu sebenarnya masih ingin sekolah, namun menurutnya pilihan itu bukanlah pilihan yang bijak. Bukan hanya masalah biaya, ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan membuat Banyu memutuskan untuk bekerja dan menopang kehidupannya dan ibunya.
Sebelum aku sempat bertanya lebih jauh tentang dirinya, ayahku memberitahuku kalau sudah saatnya mereka menyelam. Ayahku lalu menyerahkan jam tangannya kepadaku. Awalnya aku menatapnya dengan pandangan bertanya-tanya, namun ayahku mengunci mulutnya dan menyuruhku mengukur berapa lama mereka di bawah sana. Sambil mengangkat bahu, aku memutuskan untuk mengikuti kata-katanya. Mereka pun mulai menyelam, meninggalkanku, ayahku, dan Pak Abas yang bertugas untuk menjaga perahu. Detik demi detik pun berlalu. Detik-detik itu pun perlahan berubah menjadi menit. Aku yang khawatir mulai menatap ayahku, namun beliau malah berbincang-bincang dengan Pak Abas.
Satu menit pun akhirnya berlalu. Kekhawatiranku akan keselamatan mereka sudah tidak bisa dibendung lagi. Tanpa memikirkan rasa takutku, aku pun melompat dari perahu, berusaha menyelamatkan mereka. Asinnya air laut langsung membuat mataku perih, namun aku tetap membuka mataku. Aku tidak ingin melihat ada yang terluka. Tidak lagi. Betapa terkejutnya diriku saat aku menyadari kalau Banyu dan yang lainnya masih berenang dengan santai.
Banyu yang tadinya sedang berenang mengambil tiram mutiara langsung terbelalak ketika melihatku di dalam air, namun karena tahu kalau kondisiku baik-baik saja, ia hanya tersenyum dan bersalto di dalam air. Ingin rasanya kutertawa, namun aku tahu kalau tertawa sekarang itu sama saja dengan bunuh diri. Begitu kekhawatiran dan keterkejutanku berhasil kukuasai, kepanikan mengambil alih diriku. Aku baru menyadari kalau aku sedang berada di dalam laut. Memori akan laut yang telah membawa ibuku untuk selamanya langsung membuatku panik. Aku langsung berenang kepermukaan, berusaha membebaskan diri dari laut. Begitu aku sampai di permukaan, hal pertama yang kulihat adalah wajah ayahku yang sedang tersenyum. Beliau mengulurkan tangan, membantuku untuk naik ke atas perahu.
“Gimana? Mereka hebat, kan?” tanya ayahku.
Aku pura-pura tersenyum lalu menganggukkan kepala. Sebelum aku sempat bercerita tentang ketakutanku, suara cipratan mulai terdengar dari berbagai arah saat para penyelam berenang menembus air, mencapai permukaan. Mereka pun mulai menaikkan tiram-tiram mutiara yang mereka dapatkan sebelum mereka naik ke atas perahu. Saat Banyu naik, pandangan kami kembali bertemu. Cengiran kecil langsung terukir di wajahnya. Aku tidak perlu menjadi orang terpintar di dunia untuk tahu arti cengiran itu. Aku membalas cengirannya itu dengan cengiranku sendiri sambil memberikan jempol untuk aksinya tadi.
Aku tidak yakin apa ayahku benar-benar menyadarinya atau tidak, namun begitu kami sampai ke karamba miliknya, ayah bertanya apakah aku ingin ikut menyelam bersama mereka mingu depan. Aku terdiam sesaat. Aku ragu dengan pilihan yang akan kuambil. Laut sudah mengambil ibuku, tepat di depan mataku. Aku tidak yakin apa aku benar-benar ingin menyelam bersama mereka atau tidak. Ayahku yang sepertinya menyadari perubahan ekspresi di wajahku menepuk punggungku sebelum berkata, “Luna gak harus mutusin sekarang kok. Santai aja!”
Aku mengangguk pelan tanpa semangat. Aku tahu kalau ayahku menyadari semangatku yang berkurang secara drastis. Ayahku lalu memanggil Banyu dan menyuruhnya menemaniku berkeliling. Kami berjalan melewati jembatan kecil yang menghubungkan karamba ayah dengan pantai sambil berbagi cerita lagi. Kami berjalan sampai akhirnya kami tiba di tebing tinggi, tempat rumahku sekarang berdiri. Saat itu Banyu menanyakan sebuah pertanyaan yang membuatku terlonjak, “Kenapa sih kamu menyiksa dirimu sendiri, Luna?”
Aku mengerutkan dahi, seakan tidak mengerti pertanyaannya tadi. Melihat ekspresiku tadi, Banyu hanya bisa menghela nafas dan menghempaskan diri ke hamparan rumput dibawah kaki kami. “Aku yakin kamu tau kalau nangis itu gak bakal nyelesaiin masalah, tapi kamu tahu gak, kalau nangis itu bisa meringankan beban kita?” ujar Banyu sambil menatap ke arah horizon.
Aku terdiam seraya mengikuti arah tatapannya. Tanpa kusadari, air mata mulai menetes dari sudut mataku. Aku pun jatuh terduduk dan menangis sambil menatap horizon. Banyu memang benar, selama ini aku memang sudah menyiksa diriku. Aku tidak bisa berbohong dihadapannya. Tidak ada gunanya aku bersembunyi di balik topengku. Banyu bisa melihat semuanya. Banyu bisa mengetahui siapa aku sebenarnya, bahkan dari saat pertama kami bertemu.
Aku masih sibuk menangis ketika tangan Banyu mulai mengelus-ngelus kepalaku. “Ceritakanlah masalahmu jika kau mau, namun menangislah jika kau tak bisa,” bisik Banyu di telingaku.
Raungan tangisku sudah tidak dapat dibendung. Dalam dekapannya, aku menangis seperti saat aku menangis dalam pelukan ibuku. Di antara tangisan dan cegukanku, aku mulai menceritakan segalanya kepada Banyu. Bagaimana laut mengambil ibuku untuk selamanya, bagaimana kesedihanku karena dikhianati oleh laut, bagaimana ketakutanku ketika harus berhadapan dengan laut lagi, dan juga bagaimana ketakutanku memiliki keluarga baru. Semua itu tumpah begitu saja tanpa sempat kupikirkan. Aku hanya bisa menangis dan bercerita, sementara Banyu mendekapku sambil menepuk-nepuk punggungku.
Setelah aku berhasil menenangkan diriku, aku mulai membebaskan diri dari pelukan Banyu. Banyu lalu menatapku, “Benarkan? Menangis itu lumayan menyenangkan, kan?” tanyanya sambil tersenyum jahil.
Aku tersenyum kecil sambil memukul tangannya dengan bercanda. Kami berdua akhirnya jatuh sambil tertawa-tawa. Entah sudah berapa lama aku tidak tertawa seperti ini. Aku tidak yakin sudah berapa lama aku tidak menjadi diriku sendiri. Setelah beberapa saat Banyu berdiri lalu mengulurkan tangan ke arahku. Tanpa ragu, aku langsung meraih tangannya dan membiarkan Banyu menarikku berdiri. Aku mungkin bukanlah orang yang paling pintar di dunia ini, namun aku tahu kalau sejak saat aku menerima uluran tangan Banyu, Banyu sudah menjadi salah seorang yang penting untukku.
Kami berjalan berdua sambil bercanda. Tubuhku rasanya sangat ringan karena sudah membagi penderitaan yang selama ini kutanggung sendiri. Saat kami hampir sampai, aku berbalik dan bertanya kepada Banyu, “Apa kau mencintai laut, Banyu?”
Banyu tampaknya sedikit terkejut ketika mendengar pertanyaanku, “Ya. Aku dilahirkan di dekat laut. Aku bermain di laut dan aku bisa hidup karena laut. Rasanya mustahil untuk orang sepertiku membenci laut.”
Aku pun kembali bertanya, “Apa itu berarti kau mau membantuku untuk mencintai laut lagi?”
Banyu mengangguk, “Laut mungkin memang kejam, namun laut tidak akan pernah menelantarkan kita, Luna.”
Aku tersenyum, “Oke! Kalau begitu tiap minggu aku bakal ikut kalian mengumpulkan tiram-tiram mutiara itu!” ujarku penuh semangat.
Begitu kami sampai ke tempat ayah, aku memberitahunya tentang keptusanku. Senyuman langsung terukir di wajahnya. Ayah tahu akan ketakutanku akan laut sejak ibu meninggal, namun ayah tidak ingin aku membenci laut. Ayah mengalihkan pandangan ke arah Banyu dan mengucapkan terima kasih. Aku tidak yakin dari mana ayah bisa tahu kalau keputusan ini berhasil kuambil karena Banyu. Insting seorang ayah mungkin? Apa pun itu, aku tidak terlalu perduli. Aku ingin berdamai dengan laut, itulah yang kuinginkan.
Semenjak saat itu, hari Mingguku selalu diisi dengan membantu bawahan-bawahan ayah mencari tiram-tiram mutiara. Awalnya hal itu sangat sulit bagiku. Jangankan untuk menyelam sampai ke dasar, untuk bisa masuk ke laut saja itu sudah memerlukan perjuangan yang sangat besar. Namun seiring dengan berjalannya waktu, aku akhirnya berhasil mengatasi ketakutanku akan laut. Aku mungkin belum bisa mencintai laut seperti dulu, namun setidaknya ketakutanku sudah tidak sebesar dulu lagi. Kemajuanku ini tidak lepas dari dukungan dan juga dorongan dari Banyu dan bawahan-bawahan ayah. Tidak perlu waktu lama sampai aku menganggap mereka sebagai bagian dari keluargaku sendiri.
Hidupku bisa dibilang berjalan lancar. Setidaknya sampai hari itu datang. Hari Minggu itu tidak berbeda dengan minggu-minggu lainnya, atau setidaknya itulah yang kurasakan. Semua berjalan cukup normal, penyelaman yang kulakukan dengan Banyu dan yang lainnya berawal cukup mulus. Namun saat kami memutuskan untuk berenang menuju ke permukaan, arus air berubah secara drastis. Arus tenang yang tadi menemani kami menyelam hilang entah kemana, meninggalkan kami dengan arus yang menyerang kami dengan sangat ganas.
Aku perlu beberapa saat untuk menyadari apa yang terjadi. Tsunami. Ya, tsunami tengah menerjang Maluku. Kepanikan langsung menerpaku. Tubuhku yang kecil mulai terbawa arus yang ganas. Untungnya sebuah tangan mencengkram tali yang menghubungkan tabung oksigen dengan diriku. Aku berbalik dan kelegaan langsung menerpaku. Banyu telah menyelamatkanku. Namun aku sadar, kalau dalam kondisi seperti ini, Banyu tidak akan bisa bertahan. Walaupun Banyu merupakan penyelam tradisional yang bisa menahan nafas sampai hampir dua menit, arus yang ganas ini bukanlah tandingannya.
Aku berusaha menenangkan diri sebisa mungkin. Aku lalu memberikan selang ekstra yang terhubung dengan tabung oksigen milikku kepada Banyu. Dalam hati, aku sangat bersyukur karena masih harus menggunakan tabung oksigen untuk menyelam bersama mereka. Setelah beberapa saat, air akhirnya menjadi tenang. Banyu memberisyarat agar kami naik ke atas. Aku mengangguk pelan. Sadar kalau kondisi Banyu yang sempat kekurangan oksigen itu mungkin tidak cukup kuat untuk berenang ke atas sendiri, aku memutuskan untuk membantunya. Aku lalu melingkarkan tangan kanannya di pundakku dan tangan kiriku di pinggangnya. Aku pun mulai menarik Banyu menuju permukaan sekuat tenaga.
Betapa terkejutnya diriku ketika menyadari kalau kami sudah terseret arus sejauh 25 meter. Dengan sisa-sisa tenagaku, aku pun kembali menarik Banyu. Kali ini ke arah perahu. Begitu sampai ke dekat perahu, bukan main terkejutnya Pak Abas melihat kondisi Banyu yang mengkhawatirkan itu. Pak Abas pun mulai membantuku menaikkan Banyu. Begitu Banyu berhasil dinaikkan, Pak Abas mengulurkan tangannya dan membantuku naik. Saat aku sudah berada di dalam perahu Pak Abas akhirnya membiarkan pertanyaan mengalir keluar dari mulutnya, “Dek Luna, kok Banyu bisa sampe kayak gini? Emang tadi di bawah kenapa, Dek?”
Aku mengambil nafas dalam-dalam lalu akhirnya menjawab pertanyaan Pak Abas, “Saya gak yakin pak. Tapi tadi pas kita lagi nyelam, arusnya tiba-tiba jadi kenceng banget. Kalo bukan karena Banyu yang megangin saya, saya pasti udah keseret arus.”
Pak Abas lalu mengalihkan pandangan ke sekitar perahau, “Dek Luna ngeliat yang lain gak dek?”
Aku menggeleng sedih. “Enggak pak. Pas arusnya jadi kenceng, saya jadi panik, saya jadi gak sempet merhatiin yang lain. Satu-satunya yang saya liat ya cuman Banyu pak,” ujarku dengan nada terguncang.
Pak Abas terdiam mendengar kata-kataku. Setelah memastikan kalau Banyu baik-baik saja, Pak Abas menyalakan motor perahu dan mengarahkannya menuju ke arah pantai. Selama perjalanan, aku mengarahkan pandangan, berusaha menemukan letak karamba ayahku yang menjadi patokanku akan pantai. Pantai mulai terlihat, namun karamba ayahku sama sekali tidak terlihat keberadaannya. Rasa panik dan takut merengkuh diriku. Aku takut.
Di mana karamba ayahku? Bagaimana jika laut mengkhianatiku lagi? Bagaimana jika ia mengambil ayahku seperti ia mengambil ibuku? Bagaimana jika laut mengambil Tante Citra? Bagaimana nasib abang-abang ku? Apakah orang-orang yang bekerja di karamba ayah baik-baik saja? Bagaimana nasib mereka? Apakah ini berarti laut sudah membenciku? Apakah Tuhan sudah melupakanku? Akankah aku bertemu dengan ayah dan yang lainnya lagi?
Berbagai pertanyaan terlintas di benakku. Saat aku melihat puing-puing karamba ayah di pantai, hatiku serasa hancur. Aku melompat turun dari perahu dan berlari menuju puing-puing itu, berharap menemukan sesuatu yang masih selamat. Aku jatuh terduduk ketika menyadari kalau sudah tidak ada yang tersisa. Tiram-tiram yang sebentar lagi siap dipanen mutiaranya, hilang sudah ditelan laut. Kurungan-kurungan yang awalnya berisi tiram-tiram itu patah dan melengkung ke berbagai arah. Air mata mulai menetes dari mataku, aku perlu beberapa saat sebelum menjeritkan tangisku. Aku menangis meraung-raung, memukul-mukul pasir yang berserakan di pantai seraya memaki laut.
Aku benci laut. Aku benci laut! Laut sudah mengambil ibuku! Laut sudah mengambil segalanya dariku! Aku muak! Jika laut memang membenciku, kenapa ia tidak mengambilku saja? Kenapa ia harus menyiksaku seperti ini?
Raunganku terdengar ke berbagai arah. Aku sudah tidak sanggup lagi. Siksaan ini terlalu besar untukku. Tiba-tiba, sebuah tangan menyentuhku di bahu. Aku berbalik dan menemukan Banyu yang berjalan tertatih, sambil dipapah oleh Pak Abas. “Jangan benci laut, Luna,” ujar Banyu lemah.
Aku menggeleng tidak setuju. “Kenapa? Kenapa aku gak boleh membenci laut? Kenapa?” tanyaku tajam.
Banyu menggeleng pelan mendengar pertanyaanku. Sebelum akhirnya berkata, “Aku hanya punya laut Luna. Laut sudah membantuku dan ratusan orang lainnya.”
Air mata kembali mengalir dari mataku. “Tapi kenapa ia mengambil semuanya dariku? Kenapa ia harus menyiksaku seperti ini?”
“Laut tidak mengambil semuanya dari dirimu, laut hanya mengambil sebanyak apa yang kita ambil darinya, Luna. Kita sudah mengambil ikan, mutiara, dan yang lainnya dari laut. Kita ini sudah merampok laut secara tidak sadar. Kau mungkin tidak tahu, tapi apa yang diambil laut dari kita itu jauh lebih sedikit dari apa yang sudah kita ambil darinya,” ujar Banyu sambil memelukku.
Aku terisak. Bukan hanya karena kesedihan dan derita yang menerpaku, tapi juga karena aku menyadari kalau kata-kata Banyu itu benar. Banyu tidak mengatakan apa-apa lagi. Ia hanya diam sambil memeluk tubuhku yang masih bergetar. Aku terlalu takut untuk menerima kenyataan ini. Aku bersyukur Banyu hanya memelukku dalam diam. Aku tidak memerlukan kata-kata manis untuk menghiburku, yang aku butuhkan adalah seseorang yang memelukku tanpa mengucapkan apapun. Seseorang yang ada saat kubutuhkan.
Setelah beberapa saat, suara isak tangisku mulai hilang ditelan oleh deburan ombak. Aku mengangkat wajahku dan menatap Banyu. “Aku mau cari ayah,” ujarku tegas.
Banyu mengangguk. Ia berdiri dan mengulurkan tangannya kepadaku seperti saat pertama kali aku menangis dihadapannya. Aku meraih tangannya dan membiarkan Banyu menarikku. Dengan langkah yang diseret, kami pun mulai berjalan menyusuri pantai. Sejauh ini, yang kami temukan hanyalah puing-puing. Pemandangan yang ada di depan mataku jauh dari menyenangkan, namun di sudut kecil hatiku, aku bersyukur karena belum menemukan tanda-tanda adanya korban.
Harapan mulai tumbuh di sudut hatiku ketika aku melihat Chiko, anjing kecil yang biasa bermain di pantai bersamaku dan Banyu. Chiko menyalak-nyalak senang ketika melihatku. Aku berjongkok pelan dan membenamkan wajahku di bulunya. Aku terkejut ketika menyadari kalau bulunya ternyata kering. Aku tidak tahu apa yang terjadi, namun Chiko tiba-tiba membebaskan diri dari pelukanku dan menyalak-nyalak. Awalnya aku bingung, tapi karena merasa Chiko ingin kami mengikutinya, kami pun memutuskan kalau hal itu tidak ada salahnya untuk dicoba.
Kami berjalan tanpa berbicara sama sekali, kesunyian itu hanya dipecahkan oleh salakan Chiko dan deburan samar ombak. Awalnya aku tidak yakin kemana Chiko menuntun kami, namun aku tiba-tiba sadar kalau ternyata Chiko menuntun kami ke arah tebing yang ku kunjungi bersama Banyu pada hari aku bertemu dengannya. Aku tidak mengerti mengapa Chiko membawa kami ke sini.
Suara riuh rendah mulai terdengar dari atas tebing. Aku berhenti menelan ludah. “Apakah itu sama dengan apa yang kupikirkan?” tanyaku dalam hati.
Sadar kalau satu-satunya cara untuk mengetahui jawabannya adalah pergi ke atas sana, aku langsung berlari sekuat tenaga. Paru-paruku yang menjerit meminta udara tidak kudengarkan. Aku tidak peduli jika paru-paruku robek. Aku harus tahu jawabannya. Begitu sampai di atas tebing. Aku kontan berhenti dan menatap pemandangan di depanku. Keluargaku dan warga yang lainnya berkumpul di atas sana, saling menolong satu sama lain yang terluka. Aku jatuh terduduk merasa lega ketika melihat pemandangan yang ada di depanku. Air mata kembali mengalir di wajahku. Air mata kelegaan karena menyadari kalau semuanya baik-baik saja.
Ayahku berbalik dan menyadari keberadaanku. Ia langsung berlari dan memelukku. Aku perlu beberapa saat untuk menyadari apa yang terjadi. Dengan tangan yang bergetar aku memeluk ayahku. Tante Citra, abang-abangku, dan juga yang lainnya datang dan menyambut kami. Di sela isak tangisku, aku kembali menceritakan apa yang terjadi saat kami menyelam. Ayahku mendengarkan semua ceritaku tanpa memotongnya. Begitu selesai, ayahku langsung mengucapkan terima kasih kepada Banyu.
Aku tidak tahu apakah ini hanya perasaaku saja, tapi wajah Banyu tidak terlihat seperti biasanya. Aku pun bertanya akan sebabnya. Dengan senyuman sedih, Banyu memberitahuku kalau ibunya tidak berhasil sampai ke tempat aman. Aku terdiam mendengar cerita Banyu. Aku memang jauh lebih beruntung. Aku memberanikan diri untuk memeluknya. Dalam dekapanku, Banyu terisak pelan.
Begitu Banyu puas menangis, aku memohon permisi dan mencari ayahku. Aku berhasil menemukan ayahku yang sedang berbicara dengan Pak Abas. Aku menariknya pelan dan menanyakan sesuatu. Ayah terdiam sementara aku menceritakan apa yang ada di kepalaku. Ayah mengangguk dan berjanji akan mengatur semuanya begitu keadaan mulai tenang. Sebelum aku sempat berterima kasih kepadanya, ayahku memberitahuku tentang kondisi kami. Aku terdiam mendengar kerugian yang disebabkan oleh tsunami itu.
Aku sangat bersyukur karena para warga berniat untuk membantu ayah. Aku tersenyum melihat semangat gotong-royong yang mereka miliki. Namun yang lebih kukagumi dari mereka adalah kecintaan mereka terhadap laut yang tak pernah pudar.
Tepukan pelan di bahuku menyadarkanku dari lamunan. Banyu, abang angkatku berdiri di belakangku sambil tersenyum kecil. Aku membalas senyumannya sebelum berbalik dan kembali menatap ke kejauhan. Memperhatikan langit yang bergabung dengan laut, membentuk suatu daerah tak berujung.
Laut mungkin telah mengambil sesuatu dari kita, namun apa yang diambilnya tidak sebanding dengan apa yang telah kita ambil darinya. Kita mungkin tidak sadar, namun tanpa laut, kita bukanlah siapa-siapa. Laut mungkin telah mengambil sesuatu yang berharga, namun ia telah memberikan kita sesuatu yang jauh lebih berharga sebagai balasannya.
Aku tidak tahu bagaimana cerita kalian dengan laut. Namun, laut telah memberikan sebuah hadiah yang sangat indah untukku. Hadiah itu bernama keluarga.

No comments:

Post a Comment