Bayu menempelkan keningnya ke kaca jendela mobil. Ini adalah salah satu hari yang tidak ditungu-tunggunya. Hari ini sekolahnya akan pergi ke daerah, yang menurut Bayu, terpencil. Saat ia diberitahu hal tersebut minggu lalu, ia langsung mengerutkan bibir. Ia jauh dari berminat untuk mengikuti program sekolah tersebut, namun ia tidak memiliki pilihan lain selain mengikutinya. Sudah bukan sekali dua kali ia diancam untuk tidak naik kelas oleh gurunya. Kalau boleh jujur, ia tidak peduli ia naik kelas atau tidak. Bagi Bayu, sekolah itu tidak penting, tidak memiliki makna, tidak berguna. Tapi entah mengapa ia tidak terkejut kalau orang tuanya sangat mendewakan sekolahnya.
“Bay! Turun, Bay! Kita dah nyampe!” ujar Alfan, abang Bayu .
Bayu menggeram pelan dan berjalan keluar mobil. Dengan keengganan yang sangat jelas, Bayu menyeret langkahnya dan mengambil tasnya dari bagasi. Alfan yang menyadari hal tersebut, menatap Bayu dengan wajah menahan tawa. “Kayaknya gak perlu segitunya deh, Bay. Emang segitu parahnya ya, ikut kegiatan sekolah? Gue sih malah seneng kalau disuruh ikut yang beginian!” ujar Alfan sambil menahan tawa.
Bayu menatapnya tajam, “Ya udah! Kalo gitu abang aja yang pergi!”
Alfan mendengus pelan, “And cancel my date? No thanks, I’ll pass. Ngapain juga gue ikut kayak ginian! Gue tuh udah kuliah, Bay! Udah bukan bocah lagi!”
“Jadi maksud lo, gue masih bocah?”
Alfan mengangkat bahu, “Sorta. Anyway, abang harus pergi! Abang dah telat buat ngejemput si cuyung! Bye!”
Bayu menatap abangnya pergi dengan pandangan jijik seakan mau muntah. Begitu mobil Alfan menghilang dari pandangan, Bayu menyeret tasnya menuju lapangan basket, tempat dimana ia seharusnya berada sekarang.
“Bay, sini!” suara panggilan itu membuatnya mengangkat wajah. Ternyata yang memanggilnya adalah Ogan, salah seorang anggota kelompoknya.
Bayu berjalan setengah hati. Begitu sampai di samping Ogan, Bayu langsung melemparkan tasnya ke dekat tas milik Ogan dan Rian yang merupakan anggota kelompoknya. “Tumben lo dateng ke acara ginian, Bay! Gue hampir 100% yakin lo bakal gak dateng!” ujar Ogan sambil memberikan tatapan mengejek.
“Lo kayak gak tau bokap gue aja, Gan! Gue justru heran kalo dia tiba-tiba enggak ngedewain sekolah. Lo kayak gak ngerti penderitaan gue aja,” ujar Bayu tanpa semangat.
“Iya juga sih, Bay. Bokap lo tuh emang rada maniak kalo udah nyampe ke hal-hal yang berkaitan sama sekolah!”
“Emang! By the way, kita mau kemana sih?” tanya Bayu dengan tak acuh.
Ogan yang mendengar pertanyaannya langsung terbelalak, “Lo ikut, tapi lo gak tau kita mau ke mana?”
Bayu mengangkat bahu. Ia tidak merasa bersalah sama sekali, sebab kepergiannya ini bukanlah keinginannya, melainkan orang tuanya. Ogan yang menyadari hal itu hanya menggeleng pelan, “Sekarang kita bakal ke Bandung dulu, buat ngeliat sekolah lain yang bakal ikut kegiatan ini. Sorenya baru kita ke Pangalengan.”
“Anjrit! Itu perjalanan panjang banget!” maki Bayu.
Ogan hanya menggeleng mendengar kata-kata temannya tersebut. Sebelum Bayu sempat mengatakan hal lain, mereka sudah disuruh masuk ke dalam bus. Bayu sadar kalau apapun yang dilakukannya sekarang tidak akan memberikan perbedaan sama sekali. Begitu masuk ke dalam bus, Bayu langsung menghempaskan diri ke kursi yang terletak di samping jendela. Ia menyandarkan keningnya ke kaca yang dingin, sementara tangannya memasangkan headset yang selalu dibawanya. Begitu mesin menderu dan guru mulai berkicau, Bayu langsung memutar musik dengan volume maksimal, mengusir suara-suara yang tidak diinginkannya. Tidak perlu waktu lama sampai Bayu jatuh tertidur dalam hentakan musik yang didengarkannya.
Bayu tertidur selama beberapa jam. Ia sedikit terkejut ketika menyadari kalau mereka sudah sampai. Ia tidak menyangka perjalanan dari Jakarta ke Bandung ini ternyata memakan waktu yang lebih lama dari yang diperkirakannya. Bayu menggeliat malas di kursinya. Ia berbalik menatap Ogan yang tertidur dengan kepala yang tersandar di bahunya. Cengiran nakal langsung terukir di wajah Bayu. Tanpa peringatan sebelumnya, Bayu berdiri, membentur kepala Ogan secara sengaja. Ogan yang sedang tertidur nyenyak sontak terbangun dan menyemprot Bayu dengan kata-kata’mutiara’ miliknya. Bayu terkekeh mendengar kata-kata tersebut, tapi tidak benar-benar memperdulikannya.
Bayu melompat turun dari bus dan menatap sekolah yang ada di depannya dengan satu alis yang terangkat. Bila dibandingkan dengan sekolahnya, SMA Mutiara Bunda, sekolah yang ada di depannya, bukanlah apa-apa. Tepukan pelan di bahunya menyadarkan Bayu dari lamunannya. Ternyata yang menepuk bahunya adalah Pak Reza, satu dari beberapa orang guru yang disukai oleh para murid. “Kenapa Bay? Mukamu kok kayak ngeremehin?” tanya Pak Reza.
Bayu mengangkat bahu, “Gak sih pak, cuman gak ngerti aja.”
“Gak ngerti gimana?”
“Saya gak ngerti kenapa kita harus bikin kegiatan kayak gini. Soalnya buat saya, kegiatan ini pointless banget! Dan kenapa juga harus ngellibatin sekolah lain? Bikin sekolah kita kayak gak bisa ngapa-ngapain aja!” ujar Bayu seraya menatap gurunya itu.
Pak Reza menggeleng pelan, “Bayu, kamu mungkin bukan satu-satunya murid yang berpikiran kayak gitu, tapi bapak berani bertaruh kalau dalam dalam 3 hari ke depan, kamu pasti bakal ngerubah pendapat kamu. Percaya deh sama bapak.”
Bayu menggeram pelan. Ia pasti akan membantah kata-kata tersebut jika saja bukan Pak Reza yang mengatakannya. Pak Reza adalah satu-satunya orang yang membela Bayu dan kelasnya saat mereka direndahkan oleh guru-guru yang lain. Hal itulah yang membuat Bayu menyegani Pak Reza.
“Kamu kumpul gih bareng yang lain, Bay! Anak-anak dah pada baris,” ujar Pak Reza sambil mendorong Bayu pelan.
Bayu mengangguk dan berjalan menuju barisan kelompoknya. “Ngapain lagi sih?” tanya Bayu kepada Ogan.
“Gak tau. Kayaknya sih mau ngenalin kita ma anak-anak sini!” ujar Ogan sambil memainkan PSP miliknya.
Selang beberapa detik Ogan mengatakan hal tersebut, mereka memang berkenalan dengan anak-anak sekolah itu. Memang tidak semuanya, hanya para ketuanya saja. Saat para ketua tersebut disuruh memperkenalkan diri, Bayu terpaksa ikut maju karena ia juga merupakan ketua kelompok.
“Saya Bayu Adyatama. Kelas 10-C, SMA Pelita Harapan Jakarta. Ketua kelompok 7,” ujar Bayu setengah hati.
Proses tersebut berlangsung selama beberapa menit. Bayu tidak memperhatikan anak-anak lainnya memperkenalkan diri. Matanya justru terpaku ke seorang gadis yang berdiri bersama teman-temannya. Gadis berambut ikal itu menoleh menatap Bayu, seakan tahu kalau Bayu tengah memperhatikannya. Bayu yang menyadari kalau gadis itu menatap balas dirinya langsung memalingkan wajah. Gadis itu tersenyum kecil melihat reaksi Bayu.
Begitu prosesi itu berakhir, guru-guru kemudian membagi mereka menjadi dua kelompok dan menyuruh mereka untuk memasuki 2 bus yang sudah disediakan. Bayu dan kelompoknya kebagian bus nomor 1. Seperti sebelumnya, Bayu langsung menghempaskan badannya ke kursi di samping jendela dan memasang headset yang sudah menemaninya sejak perjalanan awal tadi.
Selama perjalanan, Bayu melemparkan pandangannya keluar jendela. Ia sama sekali tidak berminat untuk mengikuti percakapan seru yang terjadi setelah keakraban terjalin antara murid kedua sekolah itu. Bayu tidak peduli akan semua itu. Satu-satunya hal yang diinginkannya adalah kegiatan ini segera selesai supaya ia bisa kembali ke rumah. Bayu yang pikirannya sedang melayang meninggalkan tubuhnya, dikejutkan oleh munculnya sebungkus biskuit dari atasnya. “Mau gak?” tanya gadis yang tadi diperhatikan Bayu saat perkenalan.
Bayu menatap gadis itu seraya mengambil biskuit yang ditawarkannya. “Thanks,” gumam Bayu pelan.
Gadis itu tersenyum melihat Bayu yang mengambil biskuit dari tangannya. Ia lalu mengulurkan tangan, mengajak berkenalan. “Aku Ai,” kata gadis itu yang masih tersenyum manis.
“Bayu,” jawab Bayu tanpa repot-repot menjabat tangan Ai.
Ai mengerutkan kening, tidak memahami alasan Bayu menolak menjabat tangannya. “Kamu kenapa?” tanya Ai dengan nada prihatin.
“Gak papa. Bukan urusan lo,” ujar Bayu tajam.
Ai menatapnya selama beberapa saat sebelum mengangkat bahu dan berbalik meninggalkan Bayu. Bayu yang ditinggalkan sendiri akhirnya memutuskan untuk tidur karena sudah tidak ada lagi yang bisa dilakukannya.
Rasanya belum lama Bayu tertidur saat Ogan mengguncang pundaknya dan membangunkannya. “Kita dah nyampe, Bay.”
Bayu mengangguk dan mengikuti yang lainnya turun. Mereka turun dan setelah mendapat pengarahan singkat, tiap grup diperkenalkan kepada warga yang rumahnya akan mereka tempati. Kelompok Bayu kebagian tempat Pak Iqbal, seorang bapak yang memiliki kebun yang cukup luas. Ketika mereka semua sudah berdiri dan hendak meninggalkan tempat Pak Ruslan yang dijadikan sebagai ‘markas’mereka, Pak Reza menghentikan mereka. “Sebelum pergi, tolong kumpulkan semua alat komunikasi, dan juga alat hiburan kalian,” ujar Pak Reza yang langsung diterjang oleh protesan para siswa, namun Pak Reza tidak memperdulikan hal tersebut, “ Bapak tahu kalian tidak setuju, tapi bapak mohon agar kalian mengumpulkannya. Ini semua demi kebaikan kalian.”
Bayu menghela nafas sebelum akhirnya maju dan mengumpulkan barang-barang yang tadi disebutkan. Ia sebenarnya tidak terlalu peduli, tapi ia harus jujur kalau ia akan merindukan musik yang selalu menemaninya. Begitu proses ‘penyitaan’ selesai, mereka akhirnya berjalan menuju rumah yang telah ditentukan.
Saat sampai di rumah Pak Iqbal, Bayu, Ogan, dan Rian langsung disambut hangat oleh Pak Iqbal dan istrinya. Mereka lalu mengajak Bayu, Ogan, dan Rian untuk makan malam bersama mereka. Mereka berbincang-bincang seraya menghabiskan makan malam. Perasaan rindu tumbuh di hati Bayu. Entah sudah berapa lama ia tidak makan bersama orang lain. Orang tua dan abangnya terlalu sibuk untuk menghabiskan waktu seperti ini bersamanya. Pak Iqbal memberitahu mereka tentang kegiatan yang akan mereka lakukan besok. Puas bercakap-cakap, Pak Iqbal menunjukkan tempat mereka tidur. Ogan dan Rian sepertinya langsung pergi ke dunia mimpi begitu kepala mereka menyentuh bantal. Namun hal itu tidak berlaku untuk Bayu. Bayu berbaring menatap langit-langit. Ia merasa iri dengan keluarga Pak Iqbal yang bisa menghabiskan waktu bersama-sama, tidak seperti keluarganya yang sibuk dengan urusan masing-masing. Bayu menghela nafas dan memutuskan untuk tidur. “Pak Reza mungkin benar,” pikir Bayu sebelum jatuh tertidur.
Matahari baru saja akan memulai tugasnya ketika Bayu terbangun. Dengan keadaan setengah sadar ia membangunkan Ogan dan Rian yang masih ada di dunia mimpi. Bayu lalu bergerak dan bersiap-siap untuk bekerja di ladang. Hari ini ia dan yang lainnya akan mencabuti gulma dan menyemprotkan pestisida organik ke tanaman-tanaman milik Pak Iqbal.
Mereka bekerja dari jam 06.30 sampai jam 11.15 di mana mereka memutuskan untuk makan siang dan beristirahat. Makanan yang disajikan oleh istri Pak Iqbal mungkin sangatlah sederhana. Hanya berupa tempe goreng dan telur yang dibumbui, namun untuk Bayu, makanan tersebut rasanya sangat luar biasa. Ia tidak yakin apakah makanan ini benar-benar sangat enak atau karena ia benar-benar kelaparan atau karena ia benar-benar merindukan masakan dan kehangatan yang seperti ini. Setelah menghabiskan makan siang mereka, Bayu, Ogan, dan Rian pamit karena mereka harus melapor ke tempat Pak Ruslan.
Begitu sampai di sana, pandangan Bayu lagi-lagi terpaku kepada Ai. Gadis itu seakan mengingatkannya dengan adiknya yang sudah meninggal. Bayu menggelengkan kepala. “Dea mungkin udah meninggal, tapi bukan berarti kalo Dea udah tidak ada lagi. Dea akan selalu ada di hati gue,” ujar Bayu dalam benaknya.
Bayu sedikit terkejut ketika ia dan beberapa orang lainnya ditugaskan untuk mengajak anak-anak di tempat itu bermain. Bayu bukannya tidak suka anak-anak, ia hanya tidak tahu bagaimana cara menangani mereka, namun ia tidak memiliki pilihan. “Bayu juga harus ngajak anak-anak main yah?” tanya Ai dari belakangnya.
Bayu mengangguk. Ia tidak tahu kalau satu kelompok dengan Ai itu hal baik atau buruk. Kelihatannya Ai itu sangat cekatan menangani anak-anak, namun Ai juga menyakiti hatinya karena ia begitu mirip dengan Dea. “Ada ide mau ngasih game apa, gak?” tanya Ai.
“Jangankan buat game, gue aja gak tau gimana caranya ngadepin anak-anak!” ujar Bayu sambil mendengus pelan.
Ai tertawa kecil mendengarnya. “Bayu ternyata lucu juga, yah! Gimana kalo game-nya sambung kata aja? Kan gampang!”
Bayu mengangkat bahu, “Terserah lo aja deh! Gue ngikut aja.”
Akhirnya mereka memutuskan untuk mengajak anak-anak itu bermain sambung kata. Bayu sebenarnya tidak benar-benar membantu, ia hanya berdiri diam sebagai juri. Ia mengawasi anak-anak tersebut sambil sesekali mencuri pandang ke arah Ai yang sepertinya sangat bersemangat. Bayu tersenyum kecil ketika menyadari kesamaan lain antara Ai dengan mendiang adiknya.
Begitu selesai bermain, Ai duduk di serambi rumah Pak Ruslan sambil terengah-engah karena sudah menggunakan sebagian besar tenaganya untuk bermain dengan anak-anak. Bayu berjalan mendekat sambil membawa sebotol air minum. Ai yang jelas-jelas membutuhkannya, menggumamkan terima kasih sebelum menenggak habis minum yang diberikan Bayu itu. Bayu terkekeh saat melihat Ai menenggak minum yang diberikannya dengan rakus. Ai menatap Bayu dengan pandangan bertanya-tanya, “Kenapa?”
Bayu menggeleng pelan sambil tersenyum kecil, “Gak. Lo ngingetin gue sama adek gue.”
“Bayu punya adek?” tanya Ai dengan mata yang membulat karena terkejut.
Bayu mengangguk, tapi tidak mengatakan apa-apa. Ai bisa melihat jelas mata Bayu yang terluka, “Bayu mau nyeritain ke Ai gak, adeknya Bayu kenapa?”
Bayu mengambil nafas dalam-dalam, sebelum bercerita tentang Dea. Bagaimana Dea dulu dan bagaimana senyuman Dea menghiasi hari-hari terakhirnya sebelum Tuhan mengambil nyawanya.
Begitu Bayu selesai bercerita, Ai langsung berjongkok di depan Bayu dan meletakkan tangannya ke kedua sisi wajah Bayu lalu berkata, “Bayu, Dea itu tetep tersenyum sampe dia meninggal itu karena Dea sayang sama Bayu. Dea itu sayaaaang banget sama Bayu, jadi Bayu gak boleh sedih. Soalnya Dea juga bakal sedih kalo Bayu sedih. Bayu gak mau kan Dea sedih?”
Bayu tersenyum mendengar kata-kata Ai yang terkesan polos, namun ia tahu semua itu benar. “Makasih ya, Ai. Lo udah mau dengerin cerita gue.”
“No problem!” ujar Ai senang.
Sebelum Bayu sempat mengatakan apapun, tanah tiba-tiba berguncang. Bayu perlu waktu beberapa saat untuk menyadari kalau saat itu gempa tengah terjadi. Bayu langsung menarik tangan Ai dan berlari keluar. Gempa itu sebenarnya hanya gempa kecil, namun para warga yang sempat mengalami gempa besar 2 tahun yang lalu sempat panik. Bayu tidak terlalu memperhatikan orang lain, yang diperhatikannya adalah Ai yang mulai bergetar tidak terkendali. Bayu tidak tahu apa yang menyebabkannya, namun Ai tiba-tiba pingsan.
Wajah Bayu langsung berubah pucat ketika menyadari hal tersebut. Ia khawatir kalau Ai terluka atau semacamnya. Untungnya, salah seorang teman Ai datang dan memberi tahu Bayu kalau Ai hanya trauma. Ternyata Ai berada di Jepang saat gempa dan tsunami yang menimpa negara tersebut. Bayu mengangguk. Lega karena Ai tidak terluka, namun bukan berarti ia tidak cemas. Begitu Ai terbangun, ia langsung dibawa masuk ke rumah Pak Ruslan supaya ia bisa beristirahat.
Sadar kalau tidak ada yang bisa dilakukannya, Bayu memutuskan untuk kembali ke rumah Pak Iqbal. Sepanjang perjalanan, Bayu menyaksikan para warga yang membantu warga-warga yang terluka karena panik dan ingin menyelamatkan diri. Pemandangan itu membuat Bayu kembali berpikir akan perbedaan besar yang ada diantara warga kota dan warga desa. Pengalaman ini merupakan sesuatu yang baru untuk Bayu. Ia iri dengan para warga yang masih memikirkan kondisi orang lain walaupun kondisi mereka juga tidak mendukung.
Belum sampai setengah jalan, gempa susulan kembali terjadi. Kali ini agak lebih keras dari sebelumnya. Orang-orang kembali berlari keluar rumah, berusaha untuk menyelamatkan diri. Bayu kembali berlari, namun bukan untuk menyelamatkan diri, melainkan untuk mnyelamatkan Ai. Walau pun baru sebentar, Ai sudah seperti adiknya. Bayu sudah kehilangan Dea, ia tidak mau kehilangan Ai juga. Gempa berhenti sesaat sebelum Bayu mencapai rumah Pak Ruslan. Tanpa memikirkan sopan-santun, Bayu langsung menerobos masuk untuk menjemput Ai. Bayu menemukan Ai yang duduk tersudut sambil memeluk kepalanya erat-erat. Bayu datang dan memeluk Ai, berusaha menenangkannya.
Tuhan seakan sedang mempermainkan Ai dan warga desa tersebut. Gempa kembali terjadi. Sadar kalau Ai tidak akan pulih dalam waktu dekat, Bayu menggendongnya keluar. Sebelum berhasil mencapai tempat aman, puing-puing rumah mulai berjatuhan. Sebuah balok besar nan tajam menancap dengan sukses di perut kanan Bayu. Bayu menjerit kesakitan, sadar kalau ia tidak akan bisa membawa Ai keluar dengan keadaan seperti ini, Bayu mengumpulkan tenaga dan melemparkan tubuh mungil Ai keluar rumah.
Tubuh Ai mendarat tidak terlalu jauh, namun cukup jauh dari zona berbahaya ini. Bayu menatap Ai yang tidak sadarkan diri itu dengan kelegaan yang luar biasa. Ia mungkin tidak berhasil menyelamatkan Dea, namun ia setidaknya berhasil menyelamatkan Ai.
Darah yang mengalir dan tanah yang masih bergoncang membuat Bayu jatuh terlentang, menghadap langit. Kesadaran Bayu mulai menghilang karena rasa sakit yang dialaminya, namun Bayu tetap tersenyum. Pak Reza memang benar, tidak sia-sia ia datang ke sini. Bayu belajar banyak hal di tempat ini. Ia juga menemukan hal yang dicarinya selama ini, kehangatan sebuah keluarga. Air mata mulai mengalir turun dari mata Bayu yang mulai kehilangan cahaya kehidupan. Sambil menatap langit, Bayu menyambut detik-detik terakhir hidupnya tanpa penyesalan sedikit pun dalam hatinya, dan dalam keheningan itu, Bayu mulai meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
No comments:
Post a Comment